Cincin ½ Hati
Jumat ke kostku, ya. Ada yang ingin disampaikan oleh Ariel... mengenai Doni.
Baru saja kuterima SMS dari Luna. Segera kubalas...
Kapan kita bisa ketemu Doni?
Tak lama kemudian kudapatkan lagi jawabannya.
Hari Sabtu-nya. Lebih baik hari Jumat kamu tidur di kostku saja, supaya kita punya banyak waktu merencanakan pertemuan dengan Doni.
Ok. Jumat sekitar jam 7 malam aku ke sana.
Sudah tiga hari berlalu sejak peristiwa menghebohkan di rumah Pak Nano. Banyaknya kesibukan di kampus dan pekerjaan menumpuk di kantor telah membuatku hampir saja melupakannya. SMS Luna barusan telah mengingatkanku kembali akan niatku menemui Doni.
Tapi kenapa Luna bilang Ariel ingin menyampaikan sesuatu? Apa ya hubungan antara Ariel dan Doni? Hmmm... sabar, Saras... lusa kamu akan menemukan jawabannya.
* * *
Hari Jumat sekitar jam 6 sore, aku mendatangi kost Luna. Rumah Pak Nano terlihat amat sepi. Penerangan hanya diperoleh dari lampu beranda, sedangkan di dalam rumah gelap gulita. Biasanya Ludi dan penghuni kost lainnya berkumpul di sini sambil nyanyi diiringi gitar. Kemana ya mereka?
Tok... tok... tok...
Kuketuk pintu rumah. Tidak ada jawaban.
Tok... tok... tok...
Kuulangi lagi ketukan. Tetap tidak ada jawaban. Kucoba membuka pintu. Terkunci. Sepertinya Pak Nano dan istrinya keluar rumah. Untung saja Ludi pernah memberitahuku kalau pintu depan dikunci, aku bisa melalui jalan setapak di samping menuju tempat kost.
Aku pun berjalan menyusuri jalan setapak di samping rumah. Jalan itu diterangi lampu dengan cahaya yang sangat redup. Membuatku kesulitan melangkah karena tersandung batu-batu kerikil yang tidak nampak jelas.
Tapi aku langsung bernapas lega, karena tak lama kemudian kulihat cahaya yang lebih terang di ujung jalan. Pastinya cahaya itu datang dari bangunan kost.
Aku baru saja ingin melanjutkan langkah ke depan, ketika tiba-tiba dari ekor mata kiri kutangkap sesosok bayangan. Bayangan itu datang dari arah kebun. Tepatnya dari bayangan dua orang manusia yang sedang duduk di bawah pohon rambutan. Siapa mereka?
Kupicingkan mata, sepertinya aku mengenali salah satunya.
Hei, bukankah itu Luna? Ya, itu pasti Luna! Sedang apa dia di situ?
Di samping Luna duduk seorang lelaki dengan jarak setipis helaian rambut. Mereka nampak akrab sekali. Siapa dia?
Haaaa!!! Jangan-jangaaaaan...?!
Hmmm, awas ya, Luna... diam-diam kamu punya pacar tanpa memberitahuku... Hihihihi... Aku jadi geli sendiri membayangkan Luna yang "anti cowok" akhirnya bisa ditaklukan juga. Pastinya laki-laki ini hebat sekali. Hihihihi...
"DUARRRRR!!!!!", kutepuk bahu Luna sekencang-kencangnya.
"Huaaaaaaaa!!!!", Luna berteriak kaget sampai loncat berdiri. Laki-laki yang duduk di sampingnya tidak kalah kaget. Dia spontan menggeser tempat duduknya dan menoleh ke arahku. Ketika kulihat wajahnya, aku tertawa...
"ARIEL?! Hahahahahahahahaha! Hayooo, lagi apa kalian berdua duduk berdempetan di sini? Asyik pacaran, yaaa?!! Hahahahahaha!!!!", aku tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut. Benar dugaanku, lelaki tersebut adalah Ariel. Mereka berdua nampak malu dan salah tingkah. Muka mereka memerah seperti kepiting rebus, tapi tak satu pun yang sanggup berkata-kata. Pasti mereka kaget bukan kepalang karena kepergok olehku. Hahahahahaha!
"Sssaa... Saras... kukira kamu datang 1 jam lagi?", Luna terlihat seperti anak kecil yang kedapatan ibunya sedang melakukan kenakalan. Hihihi, senang sekali aku melihat ekspresi wajahnya yang amat sangat salah tingkah.
"Aku pulang lebih cepat. Memangnya tidak boleh ya kalau aku mau datang jam 6?"
"Err... err... bukan ituuuu..."
"Atau kalau aku datang jam 7, kalian bisa berhenti pacaran dulu, supaya tidak ketahuan olehku? Hahahahaha!"
"Ehhh... emmm... kami bukan sedang pacaran, kok", Ariel membela diri.
"Aah, sudahlah. Tidak ada yang perlu kalian sembunyikan dariku. Kalau teman sendiri senang, masa aku tidak sih?", aku mencoba menenangkan Ariel yang nampak pucat. Aku kan memang tidak menyalahkan siapa-siapa. Aku malah senang telah berhasil menangkap basah mereka. Hihihihi.
"Errr... gimana kalau kita masuk ke kamarku? Di sini banyak nyamuk", Luna mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Masa sih banyak nyamuk? Tadi kelihatannya kalian betah-betah saja di sini", ujarku yang masih belum puas menggoda mereka.
"Saraaaaaaaaaaaaasssss!!!", sambil melotot ke arahku, Luna menarik tanganku untuk segera meninggalkan tempat itu. Kalau kugoda terus, mungkin dia akan meledak. Haahahaha!
Sesampainya di kamar Luna, aku mengambil posisi duduk berselonjor kaki di atas kasur tanpa tempat tidur yang diletakkan di atas lantai. Luna duduk persis di samping kiriku. Ariel duduk bersila di atas lantai menghadap kami berdua.
"Jadi, ada cerita apa mengenai Doni?", aku membuka pembicaraan.
"Ariel ini sahabat dekat Doni, Ras. Dia tahu persis bagaimana hubungan Doni dan Shinta semasa dia kost di sini", jelas Luna.
Ariel mengangguk-anggukkan kepala sambil melanjutkan penjelasan Luna,"Aku tahu bagaimana perasaan Doni sesungguhnya. Dia sangat mencintai Shinta melebihi cinta dia terhadap diri sendiri atau keluarganya."
"Tapi jatuhnya Shinta ke dalam sumur telah menciptakan banyak opini, Riel. Belum lagi sekarang dia akan menikahi gadis lain. Semua orang, termasuk aku, jadi ragu dengan kesungguhan cinta dan sumpah setianya", kataku panjang lebar.
"Sebenarnya, ini rahasia antara aku dan Doni. Tapi mungkin sebaiknya aku katakan padamu juga. Apalagi Luna memberitahuku bahwa mungkin kamu bisa memecahkan kemelut ini. Walau aku tidak tahu bagaimana caranya?", Ariel menatapku dengan keraguan.
"Rahasia apa yang kamu maksud?", tanyaku semakin penasaran tanpa mempedulikan keraguan Ariel. Bagiku sudah biasa orang meragukanku atau menganggapku aneh.
"Malam sebelum kejadian naas itu, Doni sempat menemui Shinta di kebun tempat kamu menemukan aku dan Luna tadi. Waktu itu Pak Nano dan istrinya sedang pergi kondangan, sehingga Doni dan Shinta bisa bertemu dengan leluasa", Doni mulai membeberkan rahasianya.
"Lalu?"
"Malam itu, Doni melamar Shinta..."
Belum selesai Ariel melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba hawa dingin lewat melalui tengkukku. Tadinya kukira hanya aku yang merasakannya, tapi kulihat Ariel menggigil perlahan dan Luna memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya.
"Brrr... dingin ya? Apa karena mau hujan? Kututup pintu depan dulu ya", Luna beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu depan. Kudengar dia menutup pintu tersebut, dan ketika kembali, dia juga menutup pintu kamar.
"Lalu gimana, Riel?", pintaku pada Ariel agar melanjutkan ceritanya.
Baru saja Ariel mau membuka mulutnya, tiba-tiba angin berhembus. Tak hanya itu, angin tersebut membuat kekacauan di dalam kamar Luna. Kertas-kertas berterbangan di atas meja. Luna terpekik pelan karena kamarnya jadi berantakan.
Aku dan Ariel saling bertatapan. Ya, kami punya pemikiran yang sama. Pintu kamar baru saja dikunci, lalu kenapa masih ada angin masuk?
Perasaanku mulai tidak enak. Aku paham betul tanda-tanda seperti ini artinya...
"Aduh!", tiba-tiba Luna berteriak. Ruangan yang semula terang-benderang berubah jadi gelap-gulita.
"Lengkap deh penderitaan kita. Mati lampu! Mana aku tidak punya lampu senter atau lilin, nih. Aku cari dulu ya, siapa tahu ada yang punya", kata Luna sambil melangkah keluar kamar.
"Coba aku cek, ini sebenarnya mati listrik dari PLN atau hanya sekedar turun?", kali ini Ariel yang pergi meninggalkanku.
Sekarang tinggal aku sendiri di dalam kamar. Ada perasaan gundah, tapi kegelapan membuatku tidak bisa melakukan banyak hal. Hawa dingin kembali berhembus melalui tengkukku. Pasti hawa dingin tersebut masuk melalui pintu kamar yang telah terbuka lagi.
Bulu kudukku meremang... Duh, tahu begini lebih baik aku ikut Luna atau Ariel saja.
Kuraih tas kerja yang ada di sebelah kananku. Kurogoh-rogoh dalamnya. Aku mencari handphone. Mungkin sedikit penerangan bisa meredakan kegelisahanku.
Ah, ini dia handphoneku. Kunyalakan lampu kamera handphone. Kuarahkan sinarnya ke segala penjuru. Tapi tetap saja suasana mencekam. Sinar tersebut seperti tertelan, tak mampu mengalahkan kegelapan. Kupikir, lebih baik aku keluar daripada bingung sendirian di kamar.
Baru saja aku hendak bangkit dari duduk, tiba-tiba... sebuah suara dingin tanpa wujud mengisi kekosongan...
"Saras..."
Siapakah itu? Perlahan kuarahkan handphone ke sumber suara tadi. Insting terkuatku mengatakan kalau dia adalah...
Arrrrgh!!!
"Shinta...?!"
Mataku terbelalak kaget. Jantungku berdegup kencang. Bagaimana tidak, di hadapanku kini nampak sesosok wanita dengan wajah pucat. Matanya sayu, bibirnya membiru, dan rambutnya basah. Kuperhatikan lagi, seluruh tubuhnya pun basah. Beginikah keadaannya terakhir ketika ditemukan di dalam sumur? Sungguh kasihan...
"Saras, aku tahu kamu akan datang kembali untuk membantuku", ujarnya masih dengan nada datar dan dingin. Kutatap matanya, kini tidak lagi menyorot penuh kebencian padaku. Aku pun jadi tambah iba padanya. Shinta, kau pasti sungguh menderita…
"Shinta, apa maumu? Apa yang bisa kubantu? Terakhir kau hanya bilang soal dendam pada Doni. Kenapa?", bertubi-tubi kulontarkan pertanyaan. Namun wajah itu tetap menunjukkan ekspresi tanpa emosi.
"Ikuti aku...", ujarnya seraya membalikkan badan. Kulihat kakinya tidak menjejakkan tanah. Dia melayang perlahan ke luar kamar. Aku pun mengikutinya.
Dia membawaku ke kebun belakang. Tempat kutemukan Luna dan Ariel bercengkerama tadi sore. Aku baru ingat perkataan Ariel bahwa di tempat ini juga Doni bertemu Shinta pada malam sebelum kejadian. Mengapa Shinta membawaku ke sini? Apa yang hendak Shinta tunjukkan padaku?
"Saras, lihatlah di sana...", Shinta mengarahkan telunjuknya pada sebuah pohon. Di bawahnya terdapat sebuah kursi panjang.
Itulah perkataan terakhir yang dilontarkan sebelum akhirnya dia menghilang. Sebagai gantinya, kurasakan pening luar biasa. Dadaku sesak, napasku tersengal-sengal. Kupegang kepalaku sambil terbungkuk menahan tubuh agar tidak jatuh. Tiba-tiba sebuah kekuatan besar menarikku.
Dengan sekuat tenaga aku melawan kekuatan itu. Tapi tenaga ku kalah jauh, sehingga akhirnya aku tersedot ke dalam suatu pusaran. Aku melayang-layang dan berputar-putar di dalamnya. Kepalaku semakin terasa pening, tanganku menggapai-gapai... berusaha keras melepaskan diri. Tapi aku tak kuasa...
Arrrghhhh!!!! Tolooooongggg...!!!!!
... tak ada yang mendengar teriakanku ...
* * *
Kira-kira sepuluh detik kemudian aku tersadar. Kengerian yang barusan menimpaku hilang. Kutatap sekelilingku, yang nampak kini adalah sebaliknya. Kudapati diriku sedang duduk di atas kursi panjang. Sebuah sinar matahari lembut menyeruak malu-malu di balik dedaunan. Dia hendak pamit meninggalkan hari, karena tugasnya akan digantikan oleh sinar bulan dan bintang-bintang. Yah,sore telah datang.
Sore yang tenang. Angin sepoi-sepoi membelaiku pelan. Kutengadahkan kepala, kulihat burung-burung berterbangan pulang menuju sarangnya. Langit nampak cerah dan satu per satu bintang bermunculan. Indahnya suasana petang ini...
Aku masih termangu menikmati suasana, ketika dari jauh terlihat dua sejoli berjalan bergandengan tangan. Dari sini tak dapat kukenali wajah mereka. Namun semakin dekat semakin jelas wajah sang wanita.
Shinta. Ya, aku tahu persis kalau itu Shinta. Walaupun dia nampak jauh berbeda. Wajahnya diliputi senyum ceria. Matanya memancarkan kebahagiaan dan dipenuhi oleh rasa cinta. Sesekali dia menatap mesra seorang laki-laki yang menggandeng tangannya.
Laki-laki itu... kuingat wajahnya... di dalam sebuah undangan pernikahan. Ah, dia pasti Doni. Doni dan Shinta? Kenapa mereka ada di sini? Bukankah mereka...?
Mereka berjalan melaluiku begitu saja. Tanpa permisi, mereka duduk di kursi panjang, persis di sampingku. Walau agak canggung, aku rasa aku harus tetap menyapa mereka.
"Hai Shinta... Doni...", sapaku dengan perasaan yang amat sangat janggal. Rasanya baru semenit yang lalu aku yakin Doni akan menikahi gadis lain... dan... Shinta sudah meninggal. Lalu kenapa mereka di sini?
Mereka menganggap sapaanku bagai angin lalu. Masih tetap tanpa melihatku, mereka malah...
Hei!!!! Apa yang mereka lakukan?! Tidak sopan! Mereka berciuman di hadapanku!
Secara spontan kutepuk pundak Shinta yang duduk membelakangiku. Tapi tepukanku hanya berlalu bagai menepuk udara kosong. Lho?
Emosiku mulai terpancing. Biar bagaimanapun dimabuk kepayang, seharusnya mereka menghormati orang di sekitar. Ini kok ciuman sembarangan. Apa mereka tidak menganggapku? Dipikir aku ini mahluk halus yang tidak nampak?!
Tidak nampak?
Aku tidak nampak?
"Heiii... kaliaaaan... Haloooo, apa tidak melihatku?", kukibaskan tangan di hadapan wajah keduanya. Tapi mereka tetap tidak bergeming...
Hmmm... akhirnya aku baru sadar... mereka berani berbuat itu karena memang benar-benar tidak melihatku ada di sini. Tapi, kok bisa? Aduh, ada apa denganku? Apa aku telah berubah jadi hantu?
Ketika aku masih diliputi kebingungan, kulihat kedua sejoli dimabuk kepayang itu telah selesai melepas hasrat rindu.
"Shinta, apakah kamu benar-benar mencintaiku?", Doni berkata sambil menatap Shinta mesra.
"Ya. Aku mencintaimu setulus hatiku. Apa pun perbedaan yang kita miliki, aku tidak peduli. Doni, aku tahu hanya kamu yang bisa membahagiakanku. Bawalah aku bersamamu", Shinta ganti menatap Doni sambil membelai keningnya.
"Kamu yakin ingin ikut denganku?"
Shinta mengangguk mantap.
"Walaupun nantinya hidup susah karena harus memulai segalanya dari nol?"
Sekali lagi Shinta mengangguk mantap.
Doni mengeluarkan sesuatu dari balik saku celananya. Sebuah kotak kecil dilapisi kain beludru berwarna merah. Dibukanya kotak tersebut di hadapan Shinta.
Shinta terkejut. Mulutnya menganga lebar dan dia terpekik perlahan. Aku pun tak kalah terkejut.
Doni bergerak turun dari kursi lalu bertekuk lutut. Wajahnya menengadah menatap lembut kekasihnya. Tangan kanannya meraih tangan Shinta, tangan kirinya memperlihatkan sepasang cincin.
"Shinta, maukah kamu menjadi istriku?"
Perlahan kulihat air mata Shinta meleleh turun ke pipi. Dia kehilangan kata, namun masih sanggup menyerap makna. Dianggukkan kepala sebagai tanda diterimanya lamaran Doni. Dengan tangis sesenggukan, diraihnya pundak Doni dan mereka berpelukan bahagia.
Aku terpaku menatap adegan penuh haru tersebut. Aku memang bukan Shinta, tapi sekarang aku bisa merasakan kebahagiannya dan juga menyadari betapa besarnya cinta Doni padanya.
"Bagaimana kita memberitahu orangtua kita? Mereka bisa membunuh kita!", sebaris pertanyaan keluar dari mulut Shinta setelah dia melepaskan pelukan dan menyeka air mata dari pipinya.
"Shinta, aku tahu, sampai kapan pun mereka tidak akan pernah merestui hubungan kita. Oleh karena itu, aku memintamu untuk menjadi istriku... tanpa restu mereka..."
"Maksudmu... kita... kawin lari?"
"Jangan bilang begitu, Shinta. Seolah-olah kita yang bersalah hingga harus lari dari kenyataan. Katakanlah itu sebagai bukti keseriusan cinta kita."
"Hmmm..."
"Apakah kamu masih bersedia menerima tawaranku?"
Tanpa ragu sedikitpun Shinta menganggup mantap.
"Ya, demi cinta kita, kemanapun kamu pergi, aku ikut denganmu."
Mereka berpelukan dan bertangisan kembali. Ah, betapa kuatnya cinta, hingga bisa mengalahkan segalanya...
Doni menyematkan sebuah cincin ke jari manis Shinta. Shinta pun melakukan hal yang sama pada Doni. Kulihat bentuk sepasang cincin itu sebenarnya sangat sederhana. Tanpa berlian atau kilauan kuning emas. Cincin perak dengan lingkaran polos. Namun pada bagian tengahnya terdapat motif yang unik. Motif ½ hati.
"Shinta, kamu lihat kedua cincin ini? Pada bagian tengahnya masing-masing terdapat tonjolan dengan motif ½ hati. Kamu tahu artinya?"
Shinta menggeleng. Doni merekatkan jari manisnya pada jari manis Shinta.
"Kamu lihat sendiri, ketika kita satukan, kedua cincin tersebut akan mempertemukan motif ½ hati tadi menjadi bulatan hati penuh. Sekarang kamu paham?"
Shinta tersenyum. Doni melanjutkan perkataannya...
"Cintaku padamu tidak akan pernah berubah karena ½ hatiku ada pada ½ hatimu. Shinta, sampai maut memisahkan kita, aku akan tetap menyimpan cincin ini sebagai bukti cinta dan kesetiaanku padamu."
"Sungguh?"
"Ya..."
"Sampai maut memisahkan kita?"
"Sampai maut memisahkan kita..."
Bersamaan dengan perkataan Doni tadi, tiba-tiba kurasakan kekuatan besar yang tadi menarikku datang kembali. Tanpa sempat melawan, aku tersedot ke dalam pusaran angin yang membuatku berputar-putar di dalamnya.
Herannya, kali ini aku pasrah. Tidak berontak. Karena aku tahu kemana pusaran ini akan membawaku...
* * *
"Saras... Saras!!!"
Ugh... sebuah sorot lampu menyinari wajahku. Aku menutupi wajahku dengan tangan untuk menghalau sinarnya yang menyilaukan.
Kudapati aku masih terduduk di atas sebuah kursi panjang yang sama. Dan masih di kebun yang sama. Namun suasana yang ada di sekelilingku sungguh amat berbeda. Kali ini malam nampak lebih pekat dan mencekam...
Kemana Doni, kemana Shinta? Bukankah barusan aku melihat mereka? Apa yang terjadi setelah Doni melamar Shinta?
"Saras! Kamu kenapa lagi sih? Aku cari kamu kemana-kemana tidak ada. Eh tak tahunya ada di sini? Kamu lagi apa?"
Luna... dia pasti sangat cemas ketika mengetahuiku aku menghilang dari kamarnya.
"Luna, tenang... aku tidak apa-apa. Aku baru saja dibawa ke masa lalu oleh Shinta."
"Shinta? Masa lalu? Apa sih maksudmu? Sudah, kita pergi dulu dari sini. Ngobrol di kamarku saja..."
"Luna, tunggu... aku... aku harus memastikan... bahwa Doni masih mempunyai cincin ½ hati."
"Duh, apalagi sih cincin ½ hati? Memangnya kenapa kalau dia tidak punya itu?"
"Mungkin... mungkin Shinta akan membunuhnya..."
Sinar lampu senter yang tadi begitu terang-benderang menerangi wajahku dan menyilaukan pandanganku, kini nampak hanya bagai sebuah titik cahaya di tengah kegelapan.
Namun begitu, aku masih dapat melihat wajah Luna yang tidak dapat menyembunyikan kekagetan... dan kengerian...
Pada saat itu juga aku tahu... aku harus bergerak cepat...
* * *
to be continued...
Jumat ke kostku, ya. Ada yang ingin disampaikan oleh Ariel... mengenai Doni.
Baru saja kuterima SMS dari Luna. Segera kubalas...
Kapan kita bisa ketemu Doni?
Tak lama kemudian kudapatkan lagi jawabannya.
Hari Sabtu-nya. Lebih baik hari Jumat kamu tidur di kostku saja, supaya kita punya banyak waktu merencanakan pertemuan dengan Doni.
Ok. Jumat sekitar jam 7 malam aku ke sana.
Sudah tiga hari berlalu sejak peristiwa menghebohkan di rumah Pak Nano. Banyaknya kesibukan di kampus dan pekerjaan menumpuk di kantor telah membuatku hampir saja melupakannya. SMS Luna barusan telah mengingatkanku kembali akan niatku menemui Doni.
Tapi kenapa Luna bilang Ariel ingin menyampaikan sesuatu? Apa ya hubungan antara Ariel dan Doni? Hmmm... sabar, Saras... lusa kamu akan menemukan jawabannya.
Hari Jumat sekitar jam 6 sore, aku mendatangi kost Luna. Rumah Pak Nano terlihat amat sepi. Penerangan hanya diperoleh dari lampu beranda, sedangkan di dalam rumah gelap gulita. Biasanya Ludi dan penghuni kost lainnya berkumpul di sini sambil nyanyi diiringi gitar. Kemana ya mereka?
Tok... tok... tok...
Kuketuk pintu rumah. Tidak ada jawaban.
Tok... tok... tok...
Kuulangi lagi ketukan. Tetap tidak ada jawaban. Kucoba membuka pintu. Terkunci. Sepertinya Pak Nano dan istrinya keluar rumah. Untung saja Ludi pernah memberitahuku kalau pintu depan dikunci, aku bisa melalui jalan setapak di samping menuju tempat kost.
Aku pun berjalan menyusuri jalan setapak di samping rumah. Jalan itu diterangi lampu dengan cahaya yang sangat redup. Membuatku kesulitan melangkah karena tersandung batu-batu kerikil yang tidak nampak jelas.
Tapi aku langsung bernapas lega, karena tak lama kemudian kulihat cahaya yang lebih terang di ujung jalan. Pastinya cahaya itu datang dari bangunan kost.
Aku baru saja ingin melanjutkan langkah ke depan, ketika tiba-tiba dari ekor mata kiri kutangkap sesosok bayangan. Bayangan itu datang dari arah kebun. Tepatnya dari bayangan dua orang manusia yang sedang duduk di bawah pohon rambutan. Siapa mereka?
Kupicingkan mata, sepertinya aku mengenali salah satunya.
Hei, bukankah itu Luna? Ya, itu pasti Luna! Sedang apa dia di situ?
Di samping Luna duduk seorang lelaki dengan jarak setipis helaian rambut. Mereka nampak akrab sekali. Siapa dia?
Haaaa!!! Jangan-jangaaaaan...?!
Hmmm, awas ya, Luna... diam-diam kamu punya pacar tanpa memberitahuku... Hihihihi... Aku jadi geli sendiri membayangkan Luna yang "anti cowok" akhirnya bisa ditaklukan juga. Pastinya laki-laki ini hebat sekali. Hihihihi...
"DUARRRRR!!!!!", kutepuk bahu Luna sekencang-kencangnya.
"Huaaaaaaaa!!!!", Luna berteriak kaget sampai loncat berdiri. Laki-laki yang duduk di sampingnya tidak kalah kaget. Dia spontan menggeser tempat duduknya dan menoleh ke arahku. Ketika kulihat wajahnya, aku tertawa...
"ARIEL?! Hahahahahahahahaha! Hayooo, lagi apa kalian berdua duduk berdempetan di sini? Asyik pacaran, yaaa?!! Hahahahahaha!!!!", aku tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut. Benar dugaanku, lelaki tersebut adalah Ariel. Mereka berdua nampak malu dan salah tingkah. Muka mereka memerah seperti kepiting rebus, tapi tak satu pun yang sanggup berkata-kata. Pasti mereka kaget bukan kepalang karena kepergok olehku. Hahahahahaha!
"Sssaa... Saras... kukira kamu datang 1 jam lagi?", Luna terlihat seperti anak kecil yang kedapatan ibunya sedang melakukan kenakalan. Hihihi, senang sekali aku melihat ekspresi wajahnya yang amat sangat salah tingkah.
"Aku pulang lebih cepat. Memangnya tidak boleh ya kalau aku mau datang jam 6?"
"Err... err... bukan ituuuu..."
"Atau kalau aku datang jam 7, kalian bisa berhenti pacaran dulu, supaya tidak ketahuan olehku? Hahahahaha!"
"Ehhh... emmm... kami bukan sedang pacaran, kok", Ariel membela diri.
"Aah, sudahlah. Tidak ada yang perlu kalian sembunyikan dariku. Kalau teman sendiri senang, masa aku tidak sih?", aku mencoba menenangkan Ariel yang nampak pucat. Aku kan memang tidak menyalahkan siapa-siapa. Aku malah senang telah berhasil menangkap basah mereka. Hihihihi.
"Errr... gimana kalau kita masuk ke kamarku? Di sini banyak nyamuk", Luna mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Masa sih banyak nyamuk? Tadi kelihatannya kalian betah-betah saja di sini", ujarku yang masih belum puas menggoda mereka.
"Saraaaaaaaaaaaaasssss!!!", sambil melotot ke arahku, Luna menarik tanganku untuk segera meninggalkan tempat itu. Kalau kugoda terus, mungkin dia akan meledak. Haahahaha!
Sesampainya di kamar Luna, aku mengambil posisi duduk berselonjor kaki di atas kasur tanpa tempat tidur yang diletakkan di atas lantai. Luna duduk persis di samping kiriku. Ariel duduk bersila di atas lantai menghadap kami berdua.
"Jadi, ada cerita apa mengenai Doni?", aku membuka pembicaraan.
"Ariel ini sahabat dekat Doni, Ras. Dia tahu persis bagaimana hubungan Doni dan Shinta semasa dia kost di sini", jelas Luna.
Ariel mengangguk-anggukkan kepala sambil melanjutkan penjelasan Luna,"Aku tahu bagaimana perasaan Doni sesungguhnya. Dia sangat mencintai Shinta melebihi cinta dia terhadap diri sendiri atau keluarganya."
"Tapi jatuhnya Shinta ke dalam sumur telah menciptakan banyak opini, Riel. Belum lagi sekarang dia akan menikahi gadis lain. Semua orang, termasuk aku, jadi ragu dengan kesungguhan cinta dan sumpah setianya", kataku panjang lebar.
"Sebenarnya, ini rahasia antara aku dan Doni. Tapi mungkin sebaiknya aku katakan padamu juga. Apalagi Luna memberitahuku bahwa mungkin kamu bisa memecahkan kemelut ini. Walau aku tidak tahu bagaimana caranya?", Ariel menatapku dengan keraguan.
"Rahasia apa yang kamu maksud?", tanyaku semakin penasaran tanpa mempedulikan keraguan Ariel. Bagiku sudah biasa orang meragukanku atau menganggapku aneh.
"Malam sebelum kejadian naas itu, Doni sempat menemui Shinta di kebun tempat kamu menemukan aku dan Luna tadi. Waktu itu Pak Nano dan istrinya sedang pergi kondangan, sehingga Doni dan Shinta bisa bertemu dengan leluasa", Doni mulai membeberkan rahasianya.
"Lalu?"
"Malam itu, Doni melamar Shinta..."
Belum selesai Ariel melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba hawa dingin lewat melalui tengkukku. Tadinya kukira hanya aku yang merasakannya, tapi kulihat Ariel menggigil perlahan dan Luna memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya.
"Brrr... dingin ya? Apa karena mau hujan? Kututup pintu depan dulu ya", Luna beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu depan. Kudengar dia menutup pintu tersebut, dan ketika kembali, dia juga menutup pintu kamar.
"Lalu gimana, Riel?", pintaku pada Ariel agar melanjutkan ceritanya.
Baru saja Ariel mau membuka mulutnya, tiba-tiba angin berhembus. Tak hanya itu, angin tersebut membuat kekacauan di dalam kamar Luna. Kertas-kertas berterbangan di atas meja. Luna terpekik pelan karena kamarnya jadi berantakan.
Aku dan Ariel saling bertatapan. Ya, kami punya pemikiran yang sama. Pintu kamar baru saja dikunci, lalu kenapa masih ada angin masuk?
Perasaanku mulai tidak enak. Aku paham betul tanda-tanda seperti ini artinya...
"Aduh!", tiba-tiba Luna berteriak. Ruangan yang semula terang-benderang berubah jadi gelap-gulita.
"Lengkap deh penderitaan kita. Mati lampu! Mana aku tidak punya lampu senter atau lilin, nih. Aku cari dulu ya, siapa tahu ada yang punya", kata Luna sambil melangkah keluar kamar.
"Coba aku cek, ini sebenarnya mati listrik dari PLN atau hanya sekedar turun?", kali ini Ariel yang pergi meninggalkanku.
Sekarang tinggal aku sendiri di dalam kamar. Ada perasaan gundah, tapi kegelapan membuatku tidak bisa melakukan banyak hal. Hawa dingin kembali berhembus melalui tengkukku. Pasti hawa dingin tersebut masuk melalui pintu kamar yang telah terbuka lagi.
Bulu kudukku meremang... Duh, tahu begini lebih baik aku ikut Luna atau Ariel saja.
Kuraih tas kerja yang ada di sebelah kananku. Kurogoh-rogoh dalamnya. Aku mencari handphone. Mungkin sedikit penerangan bisa meredakan kegelisahanku.
Ah, ini dia handphoneku. Kunyalakan lampu kamera handphone. Kuarahkan sinarnya ke segala penjuru. Tapi tetap saja suasana mencekam. Sinar tersebut seperti tertelan, tak mampu mengalahkan kegelapan. Kupikir, lebih baik aku keluar daripada bingung sendirian di kamar.
Baru saja aku hendak bangkit dari duduk, tiba-tiba... sebuah suara dingin tanpa wujud mengisi kekosongan...
"Saras..."
Siapakah itu? Perlahan kuarahkan handphone ke sumber suara tadi. Insting terkuatku mengatakan kalau dia adalah...
Arrrrgh!!!
"Shinta...?!"
Mataku terbelalak kaget. Jantungku berdegup kencang. Bagaimana tidak, di hadapanku kini nampak sesosok wanita dengan wajah pucat. Matanya sayu, bibirnya membiru, dan rambutnya basah. Kuperhatikan lagi, seluruh tubuhnya pun basah. Beginikah keadaannya terakhir ketika ditemukan di dalam sumur? Sungguh kasihan...
"Saras, aku tahu kamu akan datang kembali untuk membantuku", ujarnya masih dengan nada datar dan dingin. Kutatap matanya, kini tidak lagi menyorot penuh kebencian padaku. Aku pun jadi tambah iba padanya. Shinta, kau pasti sungguh menderita…
"Shinta, apa maumu? Apa yang bisa kubantu? Terakhir kau hanya bilang soal dendam pada Doni. Kenapa?", bertubi-tubi kulontarkan pertanyaan. Namun wajah itu tetap menunjukkan ekspresi tanpa emosi.
"Ikuti aku...", ujarnya seraya membalikkan badan. Kulihat kakinya tidak menjejakkan tanah. Dia melayang perlahan ke luar kamar. Aku pun mengikutinya.
Dia membawaku ke kebun belakang. Tempat kutemukan Luna dan Ariel bercengkerama tadi sore. Aku baru ingat perkataan Ariel bahwa di tempat ini juga Doni bertemu Shinta pada malam sebelum kejadian. Mengapa Shinta membawaku ke sini? Apa yang hendak Shinta tunjukkan padaku?
"Saras, lihatlah di sana...", Shinta mengarahkan telunjuknya pada sebuah pohon. Di bawahnya terdapat sebuah kursi panjang.
Itulah perkataan terakhir yang dilontarkan sebelum akhirnya dia menghilang. Sebagai gantinya, kurasakan pening luar biasa. Dadaku sesak, napasku tersengal-sengal. Kupegang kepalaku sambil terbungkuk menahan tubuh agar tidak jatuh. Tiba-tiba sebuah kekuatan besar menarikku.
Dengan sekuat tenaga aku melawan kekuatan itu. Tapi tenaga ku kalah jauh, sehingga akhirnya aku tersedot ke dalam suatu pusaran. Aku melayang-layang dan berputar-putar di dalamnya. Kepalaku semakin terasa pening, tanganku menggapai-gapai... berusaha keras melepaskan diri. Tapi aku tak kuasa...
Arrrghhhh!!!! Tolooooongggg...!!!!!
... tak ada yang mendengar teriakanku ...
Kira-kira sepuluh detik kemudian aku tersadar. Kengerian yang barusan menimpaku hilang. Kutatap sekelilingku, yang nampak kini adalah sebaliknya. Kudapati diriku sedang duduk di atas kursi panjang. Sebuah sinar matahari lembut menyeruak malu-malu di balik dedaunan. Dia hendak pamit meninggalkan hari, karena tugasnya akan digantikan oleh sinar bulan dan bintang-bintang. Yah,sore telah datang.
Sore yang tenang. Angin sepoi-sepoi membelaiku pelan. Kutengadahkan kepala, kulihat burung-burung berterbangan pulang menuju sarangnya. Langit nampak cerah dan satu per satu bintang bermunculan. Indahnya suasana petang ini...
Aku masih termangu menikmati suasana, ketika dari jauh terlihat dua sejoli berjalan bergandengan tangan. Dari sini tak dapat kukenali wajah mereka. Namun semakin dekat semakin jelas wajah sang wanita.
Shinta. Ya, aku tahu persis kalau itu Shinta. Walaupun dia nampak jauh berbeda. Wajahnya diliputi senyum ceria. Matanya memancarkan kebahagiaan dan dipenuhi oleh rasa cinta. Sesekali dia menatap mesra seorang laki-laki yang menggandeng tangannya.
Laki-laki itu... kuingat wajahnya... di dalam sebuah undangan pernikahan. Ah, dia pasti Doni. Doni dan Shinta? Kenapa mereka ada di sini? Bukankah mereka...?
Mereka berjalan melaluiku begitu saja. Tanpa permisi, mereka duduk di kursi panjang, persis di sampingku. Walau agak canggung, aku rasa aku harus tetap menyapa mereka.
"Hai Shinta... Doni...", sapaku dengan perasaan yang amat sangat janggal. Rasanya baru semenit yang lalu aku yakin Doni akan menikahi gadis lain... dan... Shinta sudah meninggal. Lalu kenapa mereka di sini?
Mereka menganggap sapaanku bagai angin lalu. Masih tetap tanpa melihatku, mereka malah...
Hei!!!! Apa yang mereka lakukan?! Tidak sopan! Mereka berciuman di hadapanku!
Secara spontan kutepuk pundak Shinta yang duduk membelakangiku. Tapi tepukanku hanya berlalu bagai menepuk udara kosong. Lho?
Emosiku mulai terpancing. Biar bagaimanapun dimabuk kepayang, seharusnya mereka menghormati orang di sekitar. Ini kok ciuman sembarangan. Apa mereka tidak menganggapku? Dipikir aku ini mahluk halus yang tidak nampak?!
Tidak nampak?
Aku tidak nampak?
"Heiii... kaliaaaan... Haloooo, apa tidak melihatku?", kukibaskan tangan di hadapan wajah keduanya. Tapi mereka tetap tidak bergeming...
Hmmm... akhirnya aku baru sadar... mereka berani berbuat itu karena memang benar-benar tidak melihatku ada di sini. Tapi, kok bisa? Aduh, ada apa denganku? Apa aku telah berubah jadi hantu?
Ketika aku masih diliputi kebingungan, kulihat kedua sejoli dimabuk kepayang itu telah selesai melepas hasrat rindu.
"Shinta, apakah kamu benar-benar mencintaiku?", Doni berkata sambil menatap Shinta mesra.
"Ya. Aku mencintaimu setulus hatiku. Apa pun perbedaan yang kita miliki, aku tidak peduli. Doni, aku tahu hanya kamu yang bisa membahagiakanku. Bawalah aku bersamamu", Shinta ganti menatap Doni sambil membelai keningnya.
"Kamu yakin ingin ikut denganku?"
Shinta mengangguk mantap.
"Walaupun nantinya hidup susah karena harus memulai segalanya dari nol?"
Sekali lagi Shinta mengangguk mantap.
Doni mengeluarkan sesuatu dari balik saku celananya. Sebuah kotak kecil dilapisi kain beludru berwarna merah. Dibukanya kotak tersebut di hadapan Shinta.
Shinta terkejut. Mulutnya menganga lebar dan dia terpekik perlahan. Aku pun tak kalah terkejut.
Doni bergerak turun dari kursi lalu bertekuk lutut. Wajahnya menengadah menatap lembut kekasihnya. Tangan kanannya meraih tangan Shinta, tangan kirinya memperlihatkan sepasang cincin.
"Shinta, maukah kamu menjadi istriku?"
Perlahan kulihat air mata Shinta meleleh turun ke pipi. Dia kehilangan kata, namun masih sanggup menyerap makna. Dianggukkan kepala sebagai tanda diterimanya lamaran Doni. Dengan tangis sesenggukan, diraihnya pundak Doni dan mereka berpelukan bahagia.
Aku terpaku menatap adegan penuh haru tersebut. Aku memang bukan Shinta, tapi sekarang aku bisa merasakan kebahagiannya dan juga menyadari betapa besarnya cinta Doni padanya.
"Bagaimana kita memberitahu orangtua kita? Mereka bisa membunuh kita!", sebaris pertanyaan keluar dari mulut Shinta setelah dia melepaskan pelukan dan menyeka air mata dari pipinya.
"Shinta, aku tahu, sampai kapan pun mereka tidak akan pernah merestui hubungan kita. Oleh karena itu, aku memintamu untuk menjadi istriku... tanpa restu mereka..."
"Maksudmu... kita... kawin lari?"
"Jangan bilang begitu, Shinta. Seolah-olah kita yang bersalah hingga harus lari dari kenyataan. Katakanlah itu sebagai bukti keseriusan cinta kita."
"Hmmm..."
"Apakah kamu masih bersedia menerima tawaranku?"
Tanpa ragu sedikitpun Shinta menganggup mantap.
"Ya, demi cinta kita, kemanapun kamu pergi, aku ikut denganmu."
Mereka berpelukan dan bertangisan kembali. Ah, betapa kuatnya cinta, hingga bisa mengalahkan segalanya...
Doni menyematkan sebuah cincin ke jari manis Shinta. Shinta pun melakukan hal yang sama pada Doni. Kulihat bentuk sepasang cincin itu sebenarnya sangat sederhana. Tanpa berlian atau kilauan kuning emas. Cincin perak dengan lingkaran polos. Namun pada bagian tengahnya terdapat motif yang unik. Motif ½ hati.
"Shinta, kamu lihat kedua cincin ini? Pada bagian tengahnya masing-masing terdapat tonjolan dengan motif ½ hati. Kamu tahu artinya?"
Shinta menggeleng. Doni merekatkan jari manisnya pada jari manis Shinta.
"Kamu lihat sendiri, ketika kita satukan, kedua cincin tersebut akan mempertemukan motif ½ hati tadi menjadi bulatan hati penuh. Sekarang kamu paham?"
Shinta tersenyum. Doni melanjutkan perkataannya...
"Cintaku padamu tidak akan pernah berubah karena ½ hatiku ada pada ½ hatimu. Shinta, sampai maut memisahkan kita, aku akan tetap menyimpan cincin ini sebagai bukti cinta dan kesetiaanku padamu."
"Sungguh?"
"Ya..."
"Sampai maut memisahkan kita?"
"Sampai maut memisahkan kita..."
Bersamaan dengan perkataan Doni tadi, tiba-tiba kurasakan kekuatan besar yang tadi menarikku datang kembali. Tanpa sempat melawan, aku tersedot ke dalam pusaran angin yang membuatku berputar-putar di dalamnya.
Herannya, kali ini aku pasrah. Tidak berontak. Karena aku tahu kemana pusaran ini akan membawaku...
"Saras... Saras!!!"
Ugh... sebuah sorot lampu menyinari wajahku. Aku menutupi wajahku dengan tangan untuk menghalau sinarnya yang menyilaukan.
Kudapati aku masih terduduk di atas sebuah kursi panjang yang sama. Dan masih di kebun yang sama. Namun suasana yang ada di sekelilingku sungguh amat berbeda. Kali ini malam nampak lebih pekat dan mencekam...
Kemana Doni, kemana Shinta? Bukankah barusan aku melihat mereka? Apa yang terjadi setelah Doni melamar Shinta?
"Saras! Kamu kenapa lagi sih? Aku cari kamu kemana-kemana tidak ada. Eh tak tahunya ada di sini? Kamu lagi apa?"
Luna... dia pasti sangat cemas ketika mengetahuiku aku menghilang dari kamarnya.
"Luna, tenang... aku tidak apa-apa. Aku baru saja dibawa ke masa lalu oleh Shinta."
"Shinta? Masa lalu? Apa sih maksudmu? Sudah, kita pergi dulu dari sini. Ngobrol di kamarku saja..."
"Luna, tunggu... aku... aku harus memastikan... bahwa Doni masih mempunyai cincin ½ hati."
"Duh, apalagi sih cincin ½ hati? Memangnya kenapa kalau dia tidak punya itu?"
"Mungkin... mungkin Shinta akan membunuhnya..."
Sinar lampu senter yang tadi begitu terang-benderang menerangi wajahku dan menyilaukan pandanganku, kini nampak hanya bagai sebuah titik cahaya di tengah kegelapan.
Namun begitu, aku masih dapat melihat wajah Luna yang tidak dapat menyembunyikan kekagetan... dan kengerian...
Pada saat itu juga aku tahu... aku harus bergerak cepat...
to be continued...
kyknya ada yg cincin kawinnya motif setengah hati gitu deh.siapa ya? hihihihihi
ReplyDeletehihihi... namanya juga nyari2 inspirasi, lim :p
ReplyDeleteyah.. bersambung.. hihihihi..
ReplyDeletekaya nonton film seri ga bisa berenti lagi neh.. kekekek..
cincinnya itu inspirasi dari cincin merit lo ya sus? :P
Wee berbakat juga jadi penulis,but ada karakter Doni tuh ha ha ha gw ga baca sampe tuntas Sich secara udah malem mu pulang.Semoga karakter Doni itu adalah orang2 baek2x kaya gw.Lain waktu kalo gw ada sempet,gw baca.Btw kenapa engga lo kirim aja Sus,cerpen2x lo ini ke majalah or kemana.Bukan nilai kmesilnya,but ada semacam kebanggaan sendiri lah.Keep on writing yaahh.
ReplyDeleteUjan mulu Sus.Payah deh...
-Doni yang Asli- he he he
@willy: sebenernya cerita ini uda dipersiapkan endingnya. tapi produksinya blom jalan. baru tahap ide kreatif penulisan cerita.
ReplyDeletewakakaka... ribet amad... maksute, blom sempet nulis lagi, wil. hihihi.
tapi emang uda mo kelar kok, wil. sabar ya. tetep setia nunggu ya ;)
inspirasi cincinnya emang dari cincin merit gw, wil ;)
@doni:
haaaaa!!! gak nyangka lu bakalan mampir sini trus baca2 Saras. hahahaha!
doni yg di Saras putih-sipit, doon... lu pan item-belo gitu. wakakakaka!
gara2nya sih ini cerita gw persembahkan buat temen2 deket gw. tokohnya juga menggambarkan karakter mereka. cuma namanya aja yg gw pelesetin. gw ambil huruf depannya aja.
Saras itu gw sendiri. bedanya klo di cerita dia jaim, sedangkan gw centil bin narsis abis. hahahaha!
klo Doni itu seseorang dg nama... adalah... gak etis gw sebut di sini. pokoke depannya hurup D.
nah gw binun pake nama apa ya?
Dedi? nama panggilan laki gw waktu bujang dulu. jangan ah. hihihi. Dono? kek Warkop. Dino? emang dinosaurus? Dodo? dodolidodolipet... wakakakakaka!
paling gampang ya Doni deh jadinya.
harusnya Shinta itu diganti ya... jadi seseorang dg nama berawalan hurup... T... wakakakaka *kabur sebelom disambit, hihihi*
hiks....lg seru2nya kok to be continued sich....padahal g smlm bela2in copy bawa plg rmh tus bacanya pas g dah mo bobo wakakaka....
ReplyDeletesambung dung.......... *tatapan ala sinchan* wekekeke
@lim: waaah, jadi makin semangat nih mo nulisnya. sabar ya... at least tiap minggu keluar deh 1 part :)
ReplyDeleteuhh makin seru.. lanjutlage dong..
ReplyDeleteeh..masukin dong anung ke dalam cerita.. jadi pangeran berkuda putih kek..=))
@anung: thx uda baca, nung... nti deh gw bikin cerita khusus yg ada anungnya... Balada Anak Hilang... hahahaha... kidding, nuuuung :p
ReplyDeleteJeng ... ceritanya kayak cerbung2 beneran looh! Maksud'e, kek yang biasa gue baca di novel2/majalah2.
ReplyDeleteBesok2 kalo novelnya udah jadi, gue mau beli yang ada tanda tangan elunya yaaaa ...
masih panjang ga nih bersambungnya? serasa nungguin terbitan kung-fu boy nih :p
wah seru banget tuuu,jangan bersambung donngg
ReplyDelete