Wednesday, October 03, 2007

Cinta Terlarang - Part 1

Kost Baru Untuk Luna

Pada suatu sore yang cerah, dengan langkah gontai aku berjalan menuju kantin kampus. Setelah capai kena macet di jalanan, akhirnya sampai juga di tempat ini. Kalau bukan karena harus mengikuti mata kuliah malam yang membosankan, mungkin aku memilih langsung pulang ke kost daripada ke kampus. Tapi mata kuliah tadi memang harus tetap diambil... kalau tidak mau menunda kelulusan 1 semester lagi! Huh...!

Setelah memesan makanan, aku memilih tempat duduk yg paling strategis. Strategis maksudnya adalah, bisa melihat cowok-cowok bening dari berbagai sudut. Dasar Saras, biarpun hati sedang tidak mood, mata tetap mencari peluang. Hehehe.

"Saras!", suara dan tepukan hangat di pundak tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

Ah Luna. Bikin kaget saja.

"Ah, kamu, Luna. Baru datang juga?"

"Dari tadi sih. Tapi aku ke toilet dulu. Sudah pesan makanan?"

"Sudah. Soto ayam. Tidak ada lagi yang menggugah selera."

"Memang tidak ada yang enak. Aku tadi pesen nasgor, deh. Habis bingung mau makan apa?!"

"Yaaah, namanya makan asal kenyang..."

Obrolan terhenti karena pesanan masing-masing datang. Entah karena perut lapar atau memang makanannya enak, aku dan Luna cukup lahap menyantap hidangan yang ada di depan mata tanpa berkata-kata.

Tiba-tiba suara Luna memecah keheningan.

"Ras, kaya’nya aku mau cari kost-kostan deh..."

Ugh... hampir aja aku tersedak kuah soto. Luna mau kost?

"Lho kenapa? Bukannya kamu mulai betah tinggal di rumah Om?", tanyaku sambil mengalihkan pandangan dari mangkuk soto ke wajah Luna.

"Hah?! Betah apanya? Kamu kan tahu sendiri, aku tidak bisa akrab dengan mereka. Selama ini aku terpaksa tinggal dengan mereka karena tidak mau buang-buang uang kiriman orang tua untuk kost", balas Luna dengan menampakkan wajah cemberut.

"Hmm... aku sih tahu kamu tidak kerasan. Tapi aku tidak menyangka hal ini sampai membuat kamu mau pindah. Dimana-mana numpang memang tidak enak. Namanya juga gratis. Kalau sekarang kamu mau kost, berarti tidak gratis lagi, lho?!"

"Biarin deh. Aku sudah pikir masak-masak. Kan aku sudah bekerja, aku pikir dengan gaji yg sekarang, aku sanggup bayar uang kost."

"Benar kamu yakin?"

"Yupe... Aku hanya perlu sedikit bantuan dari kamu nihhh", mata Luna melirik dengan bibirnya menunjukkan seringaian penuh makna. Aku jadi merinding dibuatnya. Hehehe.

"Waduh, bantuan apa? Bayarin kost kamu? Waaah, klo itu sih kamu kan tahu aku sama tongpesnya seperti kamu?"

"Hahahaha! Bukan itu, Non. Aku minta bantuan kamu mencari kost yang murah dan nyaman buatku."

"Hufff... kukira apa. Sudah nih, hanya itu saja?"

"Hehehe, iyaaa!"

"Oke deh... kapan kita ada waktu? Sabtu besok?"

"Boleh! Kita ktemu lagi di kampus, ya?!"

"Siip!"

"Haduh... sudah jam masuk nih. Dosennya pake sistem absen di depan lho."

"Huaaa... iyaa.. ayooo kita cepat ke sana!!!"

* * *


Hari Sabtu, seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, aku dan Luna bertemu di kampus. Seharian nanti kami akan berkeliling daerah seputar kampus demi menemukan kost idaman Luna.

Namun nampaknya pencarian kost tidak semudah yang dibayangkan. Hingga hari menjelang sore, kami belum menemukan yang cocok. Kalau bukan karena masalah harga yang terlalu mahal, tempatnya yang kurang ideal. Ada yang jauh dari angkot, hingga harus jalan kaki yang jaraknya lumayan membuat kaki pegal. Ada juga yang fasilitasnya kurang lengkap. Atau yang induk semangnya kurang memperhatikan kebersihan.

Rasanya aku sudah mau menyerah sejak dari satu jam pertama pencarian. Namun untuk mengatakan "cukup dulu ya hari ini", aku tidak sampai hati. Apalagi Luna sepertinya benar-benar ingin secepatnya pindah. Hhhhh...

Hingga akhirnya kami sampai di sebuah gang kecil. Sebenarnya aku agak ragu apakah setelah gang tersebut akan ditemukan rumah yang dijadikan kost-kostan? Tapi keraguan tidak akan memberikan jawaban. Lebih baik terus mencari.

Setelah berjalan kira-kira 100 meter, kami menemukan beberapa rumah penduduk yang jaraknya saling berdempetan satu sama lain. Dan pada salah satu rumah tersebut, terdapat sekelompok anak muda yang sedang asyik bernyanyi sambil bermain gitar. Dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka pemuda baik-baik dan berpendidikan. Kemungkinan besar anak kuliah dari kampus yang sama dengan kami.

Luna nampak ragu-ragu melewati kelompok anak muda tersebut. Tapi aku justru berpikir lain. Jika banyak anak kuliah di situ, jangan-jangan memang tempat kost? Hmmm, sebaiknya tanya saja!

"Permisi...", aku memberanikan diri menyapa para pemuda tersebut. Tho mereka terlihat seperti pemuda baik-baik.

"Silahkan, Mbak. Ada yang bisa dibantu?", sambut salah satu pemuda yang tampak simpatik.

"Errr... begini... kami sedang cari kost-kostan. Apa di dekat sini ada?"

"Oooh... kebetulan. Tempat ini memang kost-kostan campuran. Mau ngobrol ke dalam dengan yang punya?"

Aha?! Benar kan firasatku?! Luna juga terlihat cukup kaget dengan kenyataan yang baru kami temui.

"Wah, boleh deh", kali ini Luna menyambut dengan antusias.

Pemuda tadi membawa kami berdua masuk ke dalam ruang tamu. Ia mempersilahkan kami duduk lalu memanggil-manggil seseorang yang disebutnya sebagai “Pak Nano”, yang sepertinya adalah pemiliknya.

Sekilas pandang aku melihat ruang tamu tersebut agak kusam. Lantainya terbuat dari keramik dengan corak berwarna abu-abu. Cat dindingnya berwarna krem dan beberapa bagian mulai mengelupas. Eternit atapnya ada beberapa yang bolong. Perabot di dalamnya tidak ada yang baru dan istimewa. Sofa warna merah marun memenuhi sebagian besar isi ruangan. Ada buffet kecil tempat menyangga tivi 21 inch. Di sudut ruangan terdapat lemari kaca berisi pajangan keramik dan foto-foto keluarga. Pada dinding terdapat lukisan keluarga yang cukup besar. Dari lukisan tersebut tergambar sepasang suami-istri didampingi anak, menantu dan cucu. Pastilah mereka adalah Pak Nano sekeluarga. Dan dilihat dari foto-foto kecil dalam lemari kaca, sepertinya anak Pak Nano ada 2 orang, laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki lebih dewasa dan sudah menikah, sedangkan yang perempuan mungkin seumuran denganku.

Karena asyik memperhatikan lukisan dan foto-foto, aku tidak sadar ketika Pak Nano muncul bersama istrinya. Luna mencolek dan menyadarkanku dari pemantauan sekilas ruang tamu tersebut. Kami berdua spontan bangkit berdiri.

Sesuai dengan yang kulihat pada lukisan tadi, Pak Nano kira-kira berumur pertengahan 50-an. Tubuhnya berperawakan sedang dengan kulit sawo matang. Senyumnya ramah dan matanya bersahabat. Istrinya kira-kira berumur awal 50-an. Tubuhnya kecil agak kurus dan kulitnya putih bersih. Dia juga memiliki senyum dan mata yang menyenangkan.

"Pak, ini ada tamu mencari kost", ujar pemuda tadi.

Pak Nano dan istrinya menyambut kami dengan senyuman sambil mengulurkan tangan.

"Mari... mari silahkan duduk, Nak. Bu, tolong buatkan minuman untuk tamu kita."

"Waah, tidak usah merepotkan, kami hanya sebentar saja", kataku hampir berbarengan dengan Luna. Kami jadi merasa tidak enak hati karena sudah merepotkan.

"Tidak apa-apa, hanya segelas air tidak merepotkan kok, Nak. Kalian pasti capai sudah jalan sampai ke sini," kali ini istri Pak Nano berbicara. Rupanya dengan mudah ia melihat raut wajah kami yang berantakan karena kelelahan.

"Jadi, kalian berdua mau kost?", tanya Pak Nano.

"Oh, hanya saya, Pak. Teman saya tidak", jawab Luna.

"O iya, nama kalian siapa?"

"Saya Luna. Teman saya ini Saras. Apa bapak menerima penghuni kost wanita?"

"Iya, Nak Luna. Kost saya ini campuran yang menerima pria dan wanita. Sebenarnya baru saja dibangun, jadi mungkin fasilitasnya kurang memadai."

"Boleh saya lihat tempatnya, Pak?"

"Boleh, ada di belakang... Mari saya tunjukkan."

Pak Nano beranjak dari duduknya dan meminta kami untuk mengikutinya. Kami dibawa menuju sebuah pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan bagian belakang rumah.

Rupanya di belakang rumah ini terdapat tanah yang cukup lapang. Tanah tersebut sebagian dijadikan kebun dan sisanya dibangun kost-kostan sederhana. Sangat sederhana karena luasnya tidak seberapa dan dinding pembatas antar kamarnya hanya terbuat dari kayu.

Karena suasana sudah cukup sore, aku melihat suasana perkebunan dan kost-kostan itu agak menyeramkan. Apalagi kurang lampu penerangan. Aku ragu apakah Luna mau tinggal di sini?

Ketika aku masuk ke bangunan kost-kostan, aku lihat ada beberapa penghuni di situ. Mereka tersenyum dan menyapa Pak Nano dengan ramah. Hmmm, jarang-jarang aku melihat keramahan di antara sesama pemilik dan penghuni kost di Jakarta. Rata-rata mereka tidak peduli dengan lingkungan sekitar karena sifat individualis yang kental. Keramahan tadi seolah-olah menghapus kesan menyeramkan yang baru saja kurasakan.

Pak Nano membuka satu kamar di pojok dan memperlihatkannya pada Luna, "Ini dia salah satu kamar yang kosong, Nak Luna."

Luna memperhatikan dengan seksama. Matanya berputar menyapu ruangan yang terlihat cukup bersih. Perlengkapan kamar di dalamnya sangat sederhana. Hanya ada satu tempat tidur, satu lemari baju, satu meja dan satu kursi. Dilihat dari ekspresi wajahnya, nampaknya Luna cukup puas.

"Berapa harga sewanya, Pak?"

Hah? Luna langsung bertanya soal harga? Apakah dia benar-benar tertarik? Yah, walaupun sepertinya suasana di sini menyenangkan, entah kenapa aku merasa ada yang kurang beres.

"Oh, soal itu gampang, Nak. Mari kita bicarakan di ruang tamu."

Pak Nano mengajak kami untuk kembali ke ruang tamu. Dan ketika aku membalikkan badan... tiba-tiba aku merasakan bulu kudukku meremang. Hawa dingin merasuk jiwa.

"Brrr... apa kamu merasa dingin, Luna?", tanyaku sambil mendekap badan dengan kedua tangan.

"Dingin? Udara pengap begini kamu bilang dingin? Jangan-jangan kamu sakit, Saras?", Luna menatapku heran bercampur khawatir.

"Masa? Kok tadi aku tiba-tiba kedinginan? Sekilas saja. Sudahlah, jangan khawatir. Ayo kita segera masuk ke dalam", ucapku seadanya demi mengusir kekhawatiran Luna.

Di ruang tamu telah terhidang minuman dan makanan ala kadarnya. Wah, rupanya pemilik kost di sini benar-benar ramah. Bukan hanya ramah dengan para penghuni, tapi juga tamu yang belum tentu jadi penghuni.

Luna segera membuka percakapan mengenai harga. Dan pertama kali Pak Nano buka harga, Luna tersenyum. Ternyata harganya benar-benar sesuai jangkauan. Luna tampak senang sekali. Tanpa ditawar ia langsung menyetujuinya. Bahkan langsung memberikan tanda jadi saat itu juga. Dan kepindahan akan dilakukan keesokan harinya!

Hah? Aku kaget. Walaupun senang juga, karena artinya pencarian hari ini tidak berakhir sia-sia. Tapi kenapa secepat itu? Setidaknya aku merasa ada yang perlu dibicarakan dengan Luna sebelum benar-benar memutuskan memilih kost ini.

Karena, entah kenapa, aku merasa ada yang ganjil. Apakah berhubungan dengan udara dingin yang tiba-tiba menyergap sewaktu di belakang tadi? Tidak tahu juga.

Memang aku tidak melihat apa-apa, tapi biasanya udara dingin merupakan suatu indikasi. Indikasi yang... aku sendiri belum berani menyimpulkannya.

Setelah selesai ngobrol basa-basi demi mengakrabkan diri, akhirnya kami pamit pulang. Sepanjang jalan, aku lebih banyak diam. Aku bingung, seharusnya aku senang, tapi...

"Saras, akhirnya aku menemukan kost yang aku inginkan. Memang sih tempatnya sederhana sekali. Tapi sesuai dengan harganya yang murah. Dan aku merasa pemilik dan penghuninya ramah. Aku pasti akan kerasan!"

"Errr.. iya... semoga kamu kerasan", aku merespond celoteh Luna seadanya.

"Kamu kenapa sih, kok tidak terdengar antusias? Menurutmu bagaimana tempat kost tadi?"

Aduh, aku bingung harus jawab apa. Di satu sisi, aku merasa kurang sreg. Di sisi lain, alasannya tidak masuk akal. Yah, mungkin kali ini hanya perasaanku saja.

"Oh... tidak apa-apa. Aku bukannya tidak antusias, hanya kaget saja bisa secepat itu kamu pindah. Hehehe. Menurutku kost tadi cukup menyenangkan. Keluarga Pak Nano mungkin bisa jadi pengganti keluargamu yang jauh, Lun."

"Ya, kamu benar. Semoga saja mereka sebaik yang kita duga, ya..."

Ya... semoga saja... bathinku...

* * *


to be continued...

11 comments:

Anonymous said...

blom ada kutipan2 cintanya di part 1 ya, Saras? eh sus.. hihihihi..
Makin produktif bikin cerpen ya selain bikin kue menjelang lebaran ya.. hehehe..

.:acen147:. said...

berhubung si Saras baru umur 23-an, jadi masih polos, wil.. belum ada.

lagian Saras itu bukan gw, yg centil n tukang gonta-ganti cowok. hihihihi. Saras lebih alim. hihihi.

tapi di part2 berikut, Luna bakalan ktemu calon pendamping hidup... just wait n keep reading ;)

Anonymous said...

Bahasanya uda kaya cerpen remaja lhooo :))

wah..menggunakan waktu kerja untuk hal yang tidak untuk kepentingan kantor nih :p

*bilangin pak bos* =))

.:acen147:. said...

@anung: soal bahasa ini gw masih bingung, nung. mo pake bahasa formal, susah banget. tapi klo gak formal, misalnya... misal lhooo... gw publish, tetep harus diedit. daripada 2x kerja, ya gw langsung pake bahasa formal deh.

gw buatnya dari pas wiken, nung. jadi tadi pagi tinggal post doang. hehehe.

Pitshu said...

kenapa ceritanya enggak dikirim ke majalah aja kek cosmogirl atau majalah remaja lainnya :) kan mayan dapet hadiah dan duit hahaha :)

.:acen147:. said...

emang ada plan sih. tapi belum lah. gw mau tau dulu respond di blog. klo pada bilang oke, baru deh gw PD. hehehe.

Me said...

kost nya berhantu ya ?? kok pake merinding segala sihh..

tus namanya Saras, g jadi inget Saras 008 yang dulu di RCTI itu hahah.. :D

Anonymous said...

Kirimmmm...ayo kirim susss...:D
bagus kok bahasanya...

untung gue udah gak ngekosss, kalo masi kost, gue pasti ga bisa tidur baca crita lu...

.:acen147:. said...

@cimot: hahaha, iya nih mot. salah nama gak ya gw? kok pada langsung ingetnya jagoan saras itu. hahahaha.

@nat: hihihi. iya, nunggu selesai dulu ceritanya kali ya, nat. btw, soal pencarian kost ini berdasarkan pengalaman nyata bareng limmy. tapi soal hantunya sih benernya gak ada. kekekeke.

Unknown said...

yo oloh sus, kirain beneran ada hantunya di kos "pak nano" itu.
ternyata hanya bumbu cerita lu doang.

.:acen147:. said...

@limmy: hihihihi... lu takut ya klo emang ada hantu benerannya. keliatannya sih ada, lim. mengingat tempatnya keliatannya rada2 angker gitu. tapi gak tau juga deh. pan gw gak bisa ngerasain >:)