Wednesday, October 31, 2007

Cinta Terlarang - Part 3

Janji Sehidup Semati

Aku mau pulang...

Kucoba bangkit, tapi sekujur tubuhku lemas.

Luna memapahku. Dengan terhuyung-huyung aku mencoba berdiri. Melihatku masih kepayahan, Pak Nano ikut membantu menuntunku berjalan. Sambil setengah berbisik ia memintaku untuk menenangkan diri di ruang tamunya. Tapi selain rasa letih, bayangan lukisan yang menyeramkan di ruang tamu membuatku berkali-kali menggelengkan kepala sambil berkata bahwa aku ingin pulang saja.

"Ada sesuatu yang ingin Bapak ceritakan pada Nak Saras", kalimat itu diucapkan Pak Nano dengan nada suara lebih tegas dan genggaman yang lebih kuat pada lenganku. Aku segera sadar, kali ini permintaanya telah berubah menjadi perintah. Walaupun dibuat sehalus mungkin.

Dengan berat hati aku memenuhi permintaannya. Selain itu, ada rasa penasaran dalam hati. Mungkin saja setelah mendengar cerita Pak Nano, sedikit demi sedikit selubung misteri akan terkuak. Tapi aku tidak mau pergi sendiri. Kuseret tangan Luna untuk mengikutiku. Ludi dan Ariel juga ingin bergabung, tapi Pak Nano memberi tatapan penuh arti, yang membuat mereka mengurungkan niatnya. Akhirnya hanya aku dan Luna yang melangkahkan kaki mengikuti Pak Nano menuju ruang tamu.

"Nak Saras dan Nak Luna, duduklah dulu. Saya ingin memperlihatkan kalian sesuatu", Pak Nano mempersilahkan kami duduk lalu berlalu menuju kamar tidurnya.

Aku dan Luna duduk di atas sofa merah marun yang beberapa jahitan pada kain penutupnya mulai mencuat di sana-sini. Membuatnya semakin terlihat usang. Di hadapanku terpampang lukisan yang tadi siang berhasil membuat jantungku nyaris copot. Kutundukkan kepala. Aku tak ingin melihat wujud orang-orang yang ada di dalamnya. Terutama wujud anak perempuan yang arwahnya baru saja menerorku!

"Saras, diakah yang barusan membuatmu histeris?", tiba-tiba Luna berkata sambil mengarahkan telunjuknya ke arah wajah anak perempuan tersebut.

"Luna... sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku mau tanya, apakah kamu percaya padaku?"

"Saras, aku mengenalmu cukup lama, termasuk mengetahui kelebihanmu. Aku percaya padamu. Lagipula, untuk apa kamu berbohong?"

Aku menghela napas lega. Senang rasanya ada yang mempercayaiku.

"Thanks, Luna. Ya, dialah yang kulihat di sumur tadi. Bahkan siangnya wajahnya dalam lukisan ini berubah jadi menyeramkan! Tadinya aku kira hanya halusinasi, tapi sekarang aku yakin ada yang tidak beres di rumah ini, Lun!"

"Ah, Saras, aku jadi takut. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku pindah?", wajah Luna memucat. Sebenarnya aku tak ingin membuatnya panik begini. Tapi tidak ada yang bisa kututupi lagi.

"Tenang, Luna... sebelum kita membuat keputusan, kita dengar dulu penjelasan Pak Nano."

"Tapi..."

Belum selesai Luna bicara, tiba-tiba Bu Nano muncul dari dapur membawa nampan dan beberapa buah cangkir.

"Nak Saras, coba lah minum teh hangat ini. Mudah-mudahan bisa menenangkan Nak Saras", Bu Nano menyodorkan sebuah cangkir padaku.

"Terima kasih, Bu", aku menerima cangkir tersebut lalu menyeruput teh perlahan-lahan. Aaah, kehangatan teh telah membuat perasaanku lebih tenang.

Tak lama kemudian Pak Nano muncul sambil membawa beberapa album foto. Di atas album tersebut, kulihat ada sebuah undangan pernikahan berwarna kuning keemasan. Undangan siapakah itu? Aku tidak tahu.

Pak Nano duduk di hadapanku. Dia menatapku tajam. Sebaris pertanyaan keluar dari mulutnya.

"Nak Saras, apakah benar tadi Nak Saras melihat Shinta?"

Aku mengangguk. Aku tidak mengharapkan Pak Nano akan percaya dengan penglihatanku.

"Apakah Nak Saras sudah tahu bahwa Shinta sudah meninggal?"

Aku ragu-ragu menjawab pertanyaan itu. Karena jika kujawab, sama artinya dengan memberitahu Pak Nano bahwa kami telah membicarakan keluarganya selama ini.

"Saya sudah cerita pada Saras, Pak", akhirnya Luna yang menjawab.

"Baiklah. Bapak tidak tahu apakah yang dilihat oleh Nak Saras adalah benar-benar arwah Shinta atau hanya halusinasi belaka. Bapak sendiri tidak pernah bertemu Shinta sejak kematiannya. Tapi Bapak bukan hendak memperdebatkan hal itu."

Pak Nano menghentikan kalimatnya. Dia meraih secangkir teh hangat dan menyeruputnya perlahan.

"Nak Saras dan Nak Luna, mungkin sebaiknya Bapak bercerita apa yang telah terjadi pada keluarga kami selama setahun belakangan ini", Pak Nano membuka pembicaraan. Kami hanya diam dan mendengarkan dengan seksama.

Pak Nano membuka sebuah album. Di dalamnya kulihat foto-foto hitam putih yang kutaksir umurnya lebih tua dari umurku. Pinggirannya telah menguning dan gambarnya ada yang tidak jelas.

"Ini adalah foto-foto kami ketika baru menikah dan pindah ke rumah ini. Tanah ini adalah warisan orangtua Bapak. Di atasnya Bapak bangun rumah sederhana dan Bapak tanami pepohonan di bagian belakang agar rumah terasa sejuk", Pak Nano memulai riwayat keluarganya sambil menunjuk beberapa foto. Kulihat Pak Nano yang masih nampak muda dan gagah, begitu pula Bu Nano yang nampak segar dan cantik. Pada setiap foto, keduanya selalu menunjukkan muka ceria sebagai pertanda kehidupan yang bahagia.

"Setahun setelah kami menikah, lahirlah Dimas", Pak Nano menunjuk sebuah foto anak lelaki lucu menggemaskan.

"Lalu menyusul Shinta lima tahun kemudian", kali ini telunjuk Pak Nano mengarah pada foto anak perempuan yang sehat dan montok.

"Kami sekeluarga hidup bahagia walau sederhana, hingga akhirnya Bapak pensiun, pemasukan tidak lagi sebesar ketika Bapak masih bekerja. Untunglah Dimas sudah lulus kuliah dan tak lama kemudian mendapatkan pekerjaan. Sekarang dia telah menikah dan tinggal di daerah Pasar Minggu. Hanya Shinta yang masih kuliah dan menemani Bapak dan Ibu di sini. Akhirnya untuk menambah pemasukan dan membiayai kuliah Shinta, Bapak membangun kost-kostan di tanah belakang."

Satu album telah sampai pada halaman akhir. Pak Nano membuka album kedua. Aku dan Luna tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Kami menunggu Pak Nano melanjutkan ceritanya.

"Ini dia bangunan kost yang ada di belakang. Sampai sebulan pertama, belum ada penghuninya", sambil tersenyum Pak Nano menunjuk sebuah foto dimana dia sedang memotong pita pada pintu masuk bangunan kost. Sepertinya foto ini dibuat pada saat peristiwa selamatan atau semacam peresmian bangunan kost tersebut pertama kali berdiri.

"Lama-kelamaan, calon penghuni kost berdatangan. Akhirnya tempat ini menjadi ramai. Bapak tidak pernah membatasi siapa pun yang ingin kost di sini. Asalkan dia orang baik-baik, pasti Bapak terima, bahkan lama-kelamaan Bapak anggap sebagai anak sendiri."

Kalimat itu diucapkan Pak Nano dengan nada serius, yang sekali-kali diikuti anggukan kepala istrinya.

"Selain akrab dengan Bapak dan Ibu, kami berdua juga tidak melarang mereka untuk akrab dengan anak kami. Salah satunya yang paling akrab adalah Doni. Dia sangat dekat dengan Shinta..."

Kalimat Pak Nano terhenti, nampak ada beban berat untuk melanjutkannya...

"Kami tidak pernah melarang Shinta untuk dekat dengan Doni. Bahkan belakangan ketika kami tahu mereka berpacaran, kami juga mengijinkannya. Hanya saja ada sedikit ganjalan di hati Bapak."

"Apa itu, Pak?", tanpa kusadari kupotong kalimatnya. Aku rasa hal ini adalah bagian terpenting yang bisa menjadi jawaban semua teka-teki.

"Mereka beda agama. Shinta jelas-jelas muslim yang taat, sedangkan Doni anak pendeta. Selain itu mereka juga berbeda ras. Doni warga keturunan, sama seperti Nak Luna. Tapi, sekali lagi, masalah ras bukanlah hal yang terpenting bagi Bapak sekeluarga. Masalah agama yang lebih prinsip. Bapak tidak keberatan jika saja Doni mau menjadi muslim sehingga bisa menjadi imam bagi keluarga jika mereka menikah nanti."

Pak Nano menghela napas panjang. Raut wajahnya menunjukkan beban yang teramat berat untuk melanjutkan kalimatnya. Hingga akhirnya kali ini Bu Nano yang membuka suara.

"Nak Saras, kalau keluarga kami menitikberatkan pada masalah agama sebagai prinsip dan pegangan hidup, lain lagi halnya dengan keluarga Doni. Orangtua Doni keberatan jika Doni berhubungan serius dengan Shinta karena mereka berbeda suku. Jadi pada intinya, hubungan Doni dan Shinta banyak mendapat halangan. Kami selaku orangtua sudah mencoba menasehati dan memberikan pandangan, tapi mereka tetap tidak terpisahkan."

"Lama-kelamaan Bapak bertindak agak tegas. Dengan terang-terangan Bapak katakan pada Doni bahwa Bapak tidak merestui hubungan mereka. Lebih baik mereka putus sekarang daripada buang waktu dan akhirnya patah hati. Setelah itu, memang tidak terlihat lagi kebersamaan mereka di rumah. Tapi ternyata diam-diam mereka sering bertemu di luar."

"Darimana Bapak dan Ibu tahu kalau mereka masih melanjutkan hubungan?", tanya Luna.

"Banyak tetangga melihat mereka jalan berdua di mall. Teman-teman kampus Shinta pun bercerita pada Ibu kalau mereka masih merajut tali kasih. Bukannya mereka jahat karena mengadukan hal itu pada Ibu. Tapi memang Ibu yang menginterogasi mereka. Setelah dapat laporan itu, Ibu lalu menasihati Shinta untuk menjauhi Doni. Bahkan kadang memarahinya pula. Semua Ibu lakukan karena Ibu sayang pada Shinta. Ibu tidak ingin dia patah hati nantinya. Tapi semua nasihat dan amarah tidak didengar. Mereka tidak mau putus."

"Yah, karena tidak tahu harus bagaimana lagi, akhirnya Bapak mengusir Doni dari kost ini!", Pak Nano yang tadinya diam, dengan mengejutkan tiba-tiba bersuara. Nada suaranya datar, tapi tatapan matanya semakin tajam menunjukkan kebencian. Aku sedikit kaget, karena ternyata di balik kelembutan dan keramahannya, Pak Nano bisa menunjukkan amarah juga.

"Bapak tidak mau ambil resiko. Jika memang tidak ada yang mau mengalah, berarti tidak ada jalan keluar. Untung Doni mau mengerti. Tanpa banyak protes, dia segera mengemasi barang. Keesokannya dia pamit untuk pindah. Sejak Doni pergi dari sini, berhari-hari Shinta mengurung diri di kamar. Tidak mau kuliah, tidak mau menemani teman-temannya, tidak mau mandi, tidak juga mau makan. Sepertinya dia benar-benar kecewa pada keputusan Bapak. Sejujurnya berat bagi Bapak sendiri untuk bertindak keras. Doni anak yang baik, dia terlihat tulus mencintai Shinta. Bapak juga sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Tapi Bapak tidak melihat masa depan dalam hubungan mereka. Mumpung mereka masih muda, masih banyak pilihan, lebih baik mereka putus."

Pak Nano menghentikan ceritanya. Dia kembali menyeruput teh hangat dari cangkirnya. Setelah itu dia melanjutkan lagi ceritanya.

"Kira-kira sebulan kemudian Bapak bertemu kawan lama, namanya Pak Imam. Dari pertemuan itu, Bapak mengetahui kalau Pak Imam memiliki anak bujang seumuran Shinta, namanya Rama. Dilihat dari latar belakang keluarga, pendidikan, dan juga agama yang seiman, Bapak ingin sekali menjodohkan Rama dengan Shinta. Pak Imam pun setuju dengan niat Bapak itu. Walaupun usia mereka masih muda dan masih kuliah, tapi Bapak pikir jika mereka bisa dekat, perlahan-lahan Shinta bisa melupakan Doni."

"Semua berjalan lancar... hingga peristiwa itu terjadi..."

Pak Nano terdiam. Mata Bu Nano terlihat berkaca-kaca. Apakah peristiwa yang dimaksud adalah...?

"Mungkin Nak Luna sudah banyak mendengar... mengapa Shinta meninggal? Yaitu jatuh ke dalam sumur belakang?"

"Eh... mmm... mmm...", Luna salah tingkah. Dia pasti tidak siap mendapat pertanyaan mendadak itu.

"Sudahlah Nak Luna, jangan merasa bersalah. Bapak maklum jika Nak Luna sudah mendengarnya. Kampung ini kecil, berita itu sudah meluas kemana-mana. Mungkin Nak Luna sudah mendengar beberapa versi, tapi versi langsung dari Bapak belum, kan?"

Luna hanya menggeleng. Aku terpaku pada alur cerita Pak Nano. Aku tahu Shinta meninggal karena jatuh ke dalam sumur. Tapi kenapa? Kecelakaan? Bunuh diri? Atau... dibunuh?

Seperti menjawab pertanyaanku, Pak Nano melanjutkan ceritanya.

"Peristiwa itu terjadi setahun yang lalu. Tidak diketahui kenapa Shinta jatuh dari sumur. Kami hanya mendengar teriakannya, dan ketika kami menghampirinya, sudah terlambat. Dia sudah ada di dasar sumur dan dalam keadaan tidak bernyawa. Polisi menyimpulkan itu adalah kecelakan. Orang-orang di sini menganggap itu bunuh diri. Tapi Bapak tahu itu adalah pembunuhan!"

* * *


Ruang tamu yang sudah suram jadi semakin suram setelah kalimat terakhir dilontarkan oleh Pak Nano. Angin dingin tiba-tiba berhembus di belakang leherku dan membuat bulu kudukku meremang.

Tanpa sengaja kutatap lagi wajah Shinta pada lukisan di dinding. Entah halusinasi atau bukan, wajah itu menatapku balik dengan penuh kebencian.

Darahku terkesiap. Kupejamkan mata. Lalu kubuka kembali. Wajah kebencian itu telah sirna...

"Pembunuhan?", aku bertanya dengan nada tidak percaya.

"Ya... Bapak yakin, Shinta tidak mati bunuh diri. Dia dididik dengan ajaran agama yang kuat. Dan menurut agama kami, tindakan bunuh diri adalah dosa. Shinta tahu persis hal tersebut. Bapak juga yakin itu bukan kecelakaan. Kenapa dia begitu ceroboh? Dia kan sudah lama tahu ada sumur di situ, bahkan sering cuci baju atau piring kotor dengan air dari sumur itu. Pasti lah ada seseorang yang mendorongnya jatuh hingga tewas!"

"Ta... tapi... ss.. ssiapa, Pak?", Luna bertanya sambil menoleh ke arahku. Nampaknya dia juga sulit mempercayai analisa Pak Nano.

"Siapa lagi kalau bukan Doni?!"

Doni? Sulit bagiku untuk menerima tuduhan begitu saja. Apalagi yang kutahu, walaupun hanya berdasarkan cerita Luna dan penghuni kost sini, Doni sangat mencintai Shinta. Mengapa harus membunuhnya? Hanya karena tidak direstui orangtua?

"Tapi Pak, yang saya tahu, Doni sangat mencintai Shinta. Kenapa dia mau membunuhnya?", Luna mencoba berargumen. Sama sepertiku, pasti dia juga tidak yakin Doni sampai setega itu membunuh Shinta.

"Nak Luna, cinta itu buta dan bisa menggelapkan mata hati dan iman kita. Doni pasti sudah mendengar kabar perjodohan antara Rama dan Shinta. Karena dibakar api cemburu dan tidak rela Shinta dimiliki lelaki lain, Doni memilih untuk membunuhnya."

Ah, aku masih tidak percaya...

"Jika memang demikian, apakah polisi tidak menemukan bukti-bukti yang menguatkan analisa bapak?"

"Mereka sempat menginterogasi Doni. Tapi kemudian dilepas."

"Kenapa?"

"Karena Doni memiliki alibi yang kuat. Dia sedang menengok saudaranya yang sakit ketika peristiwa itu terjadi. Tapi Bapak tidak percaya. Entah mengapa, hati nurani Bapak mengatakan bahwa dialah dalang di balik semua peristiwa itu."

Aku tidak bisa lagi berkata-kata. Untuk saat ini, emosi dan amarah Pak Nano telah menutup alasan yang paling masuk akal sekalipun.

"Nak Luna, kamu bilang Doni sangat mencintai Shinta?"

Luna mengangguk perlahan, dengan suara tertahan dia berkata, "Bahkan katanya mereka telah berjanji sehidup semati."

"Nah, jika demikian, masihkan kalian percaya jika Bapak tunjukkan ini?", Pak Nano menyodorkan sebuah undangan. Undangan berwarna kuning emas yang kulihat tadi.

Kubuka undangan tersebut. Di dalamnya terdapat foto calon pengantin. Yang wanita terlihat cantik dalam balutan gaun pengantin putih bersih. Yang lelaki terlihat gagah dalam kemeja putih terbungkus jas hitam.

Kulihat nama mereka... calon pengantin wanita: ELLEN WIDJAJA... calon pengantin lelaki: DONI GUNAWAN.

Doni... akan menikah... Kulihat tanggal pernikahannya... dua minggu lagi?

Aku tercekat, lidahku kelu...

Pak Nano terlihat letih, namun matanya masih menyiratkan kebencian. Aku agak bergidik memandangnya. Kudengar Bu Nano terisak perlahan. Suasana di ruang tamu itu benar-benar tidak menyenangkan.

Aku melirik ke arah arloji yang melekat di tangan. Sudah jam 9. Waktunya pamit.

Aku pun pamit pulang. Kali ini Pak Nano tidak lagi menahanku.

Berkali-kali Luna memintaku untuk menginap, tapi kutolak. Pengalaman hari ini agak membuatku shock. Aku perlu istirahat. Dan istirahat tenang hanya bisa kudapatkan di kamarku sendiri. Akhirnya Luna berhenti membujukku. Dia menemaniku berjalan hingga ujung gang.

Sepanjang jalan itu kami tidak banyak bicara. Tapi walaupun diam, sebenarnya aku sedang memikirkan satu hal. Wajah Doni dalam kartu undangan masih terbayang-bayang. Kalau diingat-ingat, peristiwa jatuhnya Shinta ke dalam sumur baru setahun yang lalu. Jika memang Doni mencintai Shinta, mengapa begitu mudah dia melupakannya? Kemana janji sehidup-semati yang diucapkan olehnya?

Teka-teki belum terjawab. Aku harus melakukan sesuatu.

"Luna, aku rasa kita harus bertemu Doni!"

Luna kaget mendengar perkataanku.

"Kamu yakin, Saras? Apa nantinya malah tidak semakin terseret dalam kemelut ini? Aku malah berpikir sebaiknya aku pindah saja. Aku takut, Saras!"

"Ya, kamu sebaiknya memang pindah. Tapi sambil mencari tempat baru, aku ingin menyelidiki peristiwa ini. Jadi... aku rasa aku harus bertemu Doni!"

Luna ingin membantah. Tapi setelah melihat ekspresi mukaku, dia tahu kalau aku sedang tidak mau dibantah.

"Emmm... mmmm... Yah, coba nanti aku tanya teman-teman kost. Mungkin mereka bisa membantu."

"Thanks, Lun. Kalau sudah ada berita, kabari aku, ya!"

Di ujung gang akhirnya kami berpisah. Di sana lah kuparkir mobilku. Aku segera masuk ke dalamnya. Kuhidupkan mesin dan melaju perlahan. Kusetel radio, terdengar alunan musik lembut. Di sepanjang perjalanan yang singkat itu aku merenung...

Malangnya Shinta. Jika aku jadi dia, aku pun pasti akan kecewa mengetahui Doni akan menikahi gadis lain. Dan jika Shinta masih hidup, mungkin dia lebih memilih mati.

... tiba-tiba bulu kudukku meremang lagi...

* * *


to be continued...

10 comments:

Anonymous said...

glek....mkn serem aza kenangan gue akan kos gue dulu. :(

Anonymous said...

jeng sus... di blog elu ini bisa dikategori ga?

kalo bisa... tolong dong cerbung2nya dikategoriin... gue belum baca dari awal neh... males juga kalo musti cari2 awalnya mana...

hahaha...

.:acen147:. said...

@limmy: hihihihi... yg sabar ya, nak... nti part 4 lebih serem deh. kekekeke...

@dessy: gw kasih labels Petualangan Misteri Saras. lu bisa juga search di blog gw dg kata kunci "Saras", nti yg muncul cuma cerita Saras deh ;)

Anonymous said...

ck ck.. we want more.. we want more.. kekekek.. ga sabar nunggu kelanjutannya

.:acen147:. said...

@willy: sabar... sabar... otakna suruh istirahat dulu, wil. ternyata nulis cerita itu bener2 menguras pikiran. huehehehe.

Anonymous said...

huaaaaaaa lanjuttt lanjuttt... ada apakah dengan doni? O.o lanjut duongg huehuehue

Anonymous said...

uh uh uh seru.. lanjuut terus dong tante acen.. klo perlu pake ilustrasi2 sgala biar kaya di cerbung femina =))

.:acen147:. said...

@lim: doni-nya... ummm... ummm... enaknya gimana? dibuat hepi ending or sad ending nih? apakah dia akan tetep ada or mati aja? hahaha. sadisss...

@anung: ilustrasi maksutnya gimana, nung? pake gambar2 gitu? gak jadi komik ya nantinya? hihihi.

Anonymous said...

matiin aja *pagi2 da sadis* wekekekeke sapa suruh jaat gto ckckkck *padahal blm tau ceritanya* mari kita nantikan...saras selanjutnya... tetap diiiii blog acen :)):))

Anonymous said...

Hi Saras, ...
kayaknya cuman gue doang nih yang bacanya lumpat2 ... Gue bacanya CT part 1, trus Part 4, dan Part 3 ... sekarang lagi mau nyari si Part-2 hehehehe

tapi teteuup keren koqs ceritanyah ...Hidup Jeng Susyyy!!!