Misteri Sebuah Sumur
Sudah hampir seminggu Luna tinggal di kost baru. Terakhir kali aku menyambanginya ketika membantunya pindahan. Untung barang-barang Luna tidak terlalu banyak. Hanya dengan dua kali bolak-balik, semua sudah terangkut.
Sejak itu kami berdua disibukkan oleh pekerjaan sehingga hanya sempat bertemu pada saat kuliah malam. Setiap kutanyakan keadaan kost barunya, dengan semangat Luna menceritakan pengalamannya berkenalan dengan satu per satu anggota penghuni kost. Juga mengenai kebaikan keluarga Pak Nano yang sudah menganggap semua penghuni kost adalah anaknya. Kalau memang demikian, kelihatannya semua berlangsung baik dan normal. Kekhawatiranku sebelumnya benar-benar tidak masuk di akal.
Hmmm... mungkin tidak ada salahnya kalau aku mengunjunginya akhir minggu ini. Hitung-hitung menagih trakir karena sudah ikut keluar keringat membantunya pindahan. Hahahaha!
"Kamu tidak ada acara kan Minggu besok? Aku mau datang ke kostmu, nih."
Dua kalimat tersebut kukirimkan melalui SMS ke nomor Luna.
"Benar kamu mau datang? Aku tidak ada acara. Kutunggu, ya!"
Tidak lama kemudian, kudapatkan balasannya. Asyik, artinya hari Minggu besok akan dihabiskan bersama Luna.
* * *
Pada hari Minggu siang yang cerah, aku sampai di depan rumah Pak Nano. Aku disambut oleh sekelompok pemuda yang sama ketika pertama kali aku ke sini. Entah siapa nama mereka, aku lupa berkenalan.
"Permisi, Luna-nya ada?", tanyaku basa-basi.
"Hi, Mbak Saras. Mbak Luna ada tuh di belakang", sambut salah seorang dari mereka. Pemuda yang sama dengan waktu itu. Wah, dia sudah hapal namaku, padahal aku tidak tahu namanya. Daripada salah sebut, lebih baik kujawab dengan anggukan dan senyuman manis saja.
Setelah dipersilahkan masuk, aku langsung melangkahkan kaki ke dalam. Lagi-lagi melalui ruang tamu yang kusam itu. Kali ini tidak terlihat Pak Nano atau pun istrinya.
Sekilas pandang kulirik lukisan yang terpampang di dinding. Namun entah mengapa tatapan ku jadi terpaku... Lukisan itu masih sama... Hanya saja wajah anak perempuan yang ada di dalamnya... menjadi sangat pucat seperti wajah tanpa dialiri darah.
Sumpah, pertama kulihat, tidak seperti itu. Lalu mengapa sekarang lain? Atau hanya perasaanku saja? Bulu kudukku meremang berdiri. Perasaanku tiba-tiba gelisah.
"Mbak Saras", sebuah tepukan dingin menghampiri pundak ku.
"Argh!!", aku melonjak kaget, jantung ini rasanya berhenti berdetak.
"Aduh, maaf... maaf... bukan maksudku membuat Mbak Saras kaget."
Ah ternyata pemuda yang tadi. Kenapa dia mengikutiku ke belakang? Apa urusannya? Aku diam saja tanpa menyembunyikan wajah ketusku karena sudah kesal dikagetkan olehnya. Pemuda itu sepertinya merasa bersalah.
"Eeeengg... anu, Mbak. Sebelumnya kenalkan dulu, namaku Ludi. Aku tadi hanya mau memberitahu Mbak kalau mau ke belakang bisa lewat samping. Soalnya kadang-kadang rumah dikunci, jadi tidak bisa lewat ruang tamu..."
"Oooh...", aku menatapnya dengan perasaan malu karena pastinya pemuda itu, siapa namanya? Ludi?, telah mencuri lihat apa yang telah kulakukan barusan. Menatap nanar pada lukisan dengan pandangan ngeri. Ah, jangan-jangan nanti aku dikira sudah sinting?
"Mari, Mbak, saya antar", tanpa sungkan Ludi mengajakku untuk mengikutinya keluar dari ruangan yang kusam dengan lukisan yang mengerikan.
Walaupun ragu, kupaksakan kepalaku menoleh lagi ke arah lukisan tadi, terutama pada bagian wajah anak perempuan Pak Nano. Wajah anak itu... kembali terlihat seperti pertama kali kulihat. Tidak pucat tanpa darah. Bahkan kali ini aku baru sadar kalau ia ternyata menyunggingkan senyuman yang cukup manis. Ah, aneh sekali...
Dengan perasaan bergidik aku mengayunkan kaki mengikuti langkah Ludi. Lain kali, aku tidak mau masuk ruang tamu ini lagi. Hiiy...
Jalan samping yang dimaksud oleh Ludi adalah jalan setapak menuju kebun dan bangunan kost milik Pak Nano. Ternyata di siang hari areal perkebunan ini terlihat lebih lapang. Banyaknya pohon rindang membuat perkebunan menjadi cukup sejuk. Kulihat ada ayunan kain yang ditambatkan di antara dua pohon rambutan. Juga ada kursi panjang di bawah rimbunnya pohon jambu. Pasti menyenangkan menghabiskan waktu bersama di sini. Malam hari bisa buat api unggun sambil bernyanyi diiringi gitar dan bakar jagung atau ikan. Kira-kira pasti seperti itulah yang sering terjadi di sini, setelah kulihat bekas bakaran api di tengah-tengah kursi dan ayunan tadi.
"Hati-hati, Mbak Saras", tiba-tiba tangan Ludi menunjuk sebuah sumur yang lubangnya telah ditutup oleh papan kayu yang tebal. Sumur tersebut terletak di samping kiri bangunan kost. Di sebelah kanan sumur terdapat 2 buah kamar mandi mungil.
"Oh, apa ini? Sumur bekas?"
"Eh... iya, tapi sudah tidak terpakai", jawab Ludi dengan sedikit gugup.
"Airnya sudah kering ya?", tanyaku asal, hanya mau tahu mengapa sumur itu ditutup.
"Errr... airnya sih masih ada. Ditutup karena takut ada yang jatuh lagi... Lagipula, sekarang sudah ada mesin pompa, tidak perlu capai menimba dari sumur."
"Apa kamu bilang tadi? Jatuh LAGI?", kali ini aku cukup kaget mendengar kata "lagi" dalam kalimatnya sebelumnya.
"Eh... Mbak Luna belum cerita, ya? Ah atau jangan-jangan Mbak Luna belum tahu?”, gumam Ludi tidak jelas.
"Hi Saras!!", teriak Luna yang tiba-tiba muncul di tengah situasi aneh antara aku dan Ludi.
"Ah, itu Mbak Luna. Aku permisi dulu ya, Mbak Saras. Kapan-kapan kita ngobrol lagi", dengan buru-buru Ludi pamit.
Tunggu, aku belum mendapat jawaban atas pertanyaanku tadi. Tapi Ludi sudah balik badan dan melangkah bergegas meninggalkanku dan Luna. Ah, aku merasa seperti baru saja "melepaskan buruan".
Luna mengajakku masuk ke dalam kamarnya. Sekarang kamar itu sudah dipenuhi berbagai perabotan. Luna memang patut diacungi jempol, walaupun banyak barang, kamarnya masih terlihat rapih. Coba bandingkan dengan kamarku. Tak jauh beda dengan kapal pecah. Hahaha!
"Ayo Ras, masuk, duduk dimana pun kamu suka."
Aku masuk dan memilih duduk di atas kasur tanpa ranjang dan menyelonjorkan kaki di lantai.
"Barusan itu yang mengantar kamu namanya Ludi"
"Aku tahu, kok. Dia sudah memperkenalkan diri."
"Oooh... tapi kenapa sepertinya dia buru-buru pergi ketika aku muncul?"
"Hahahaha, mungkin dia takut sama kamu, Luna?"
"Eeeh serius... Ludi itu anaknya baik dan ramah, kami sering ngobrol. Jadi takut padaku bukan alasan yang tepat. Atau mungkin dia takut sama kamu? Kamu kan kadang-kadang galak dan judes, Ras... Hahahaha!"
"Enak saja. Aku hari ini jadi anak manis kok, Lun. Masa baru kenal sudah aku bikin takut? Hihihihi... Tapi... mungkin dia bukan takut denganku, Lun... melainkan takut dengan pertanyaanku!"
"Maksudmu?", Luna menatapku dengan pandangan heran.
Aku ceritakan percakapan singkat mengenai sumur bekas yang telah ditutup yang ada di samping bangunan kost ini. Aku berkesimpulan Ludi langsung meninggalkanku begitu aku tanya soal sumur tersebut. Mungkinkah dia takut atau menghindar dari pertanyaanku yang lebih dalam?
Luna nampak serius mendengar penjelasanku. Tapi mukanya tidak menunjukkan sesuatu yang aneh. Bahkan sepertinya dia punya jawaban atas pertanyaanku.
"Hmmm... kalau itu penyebabnya, pantas saja Ludi buru-buru kabur..."
"Lho, jadi kamu tahu soal sumur itu, Lun?", kali ini gantian aku yang menatapnya heran.
"Yeah... aku pun baru tahu kira-kira dua hari yang lalu, ketika ngobrol dengan anak-anak penghuni kost lainnya di sini..."
"Jadi apa ceritanya?"
"Kata mereka, dulu anak perempuan Pak Nano pernah ditemukan meninggal dalam sumur itu."
Aku tercekat. Anak perempuan Pak Nano? Yang ada di lukisan itu? Belum sempat aku bertanya, Luna kembali meneruskan ceritanya.
"Menurut anak-anak, Shinta, nama anak Pak Nano itu, mati bunuh diri dengan loncat ke dalam sumur..."
Mulutku ternganga...
"Bunuh diri? Karena...?"
"Itulah misteri yang belum terjawab. Sebelum meninggal, Shinta diketahui memiliki hubungan khusus dengan mantan penghuni anak kost sini. Doni, namanya."
"Lalu Shinta bunuh diri karena putus cinta dengan Doni?"
"Tidak jelas. Pak Nano memang menuduh Doni telah membuat Shinta patah hati. Tapi Doni membantahnya, karena walaupun tidak direstui Pak Nano, Doni dan Shinta saling mencintai, tidak pernah ada kata-kata putus cinta dari satu sama lain. Mereka bahagia walau selama ini harus back street. Sayang, Pak Nano tidak mau mendengar penjelasan Doni. Setelah kejadian itu, beliau mengusir Doni dari kost ini."
"Oh, sungguh tragis. Lalu apa sebenarnya alasan Pak Nano tidak merestui hubungan mereka?"
"Masalah klasik, Ras... perbedaan suku dan agama..."
"Hmmm... sekarang baru aku sadar apa arti penampakan dalam lukisan yang baru kulihat..."
"Penampakan? Apa maksudmu, Ras?"
Aku tatap dalam-dalam mata Luna. Ingin rasanya aku bercerita padanya apa yang baru saja kulihat pada lukisan di ruang tamu. Luna memang mengetahui kalau aku memiliki kelebihan dapat berhubungan dengan dunia gaib. Tapi jika dunia tersebut ada di sekitarnya saat ini, apakah nanti tidak malah membuatnya takut?
"Eh... bukan apa-apa... Aku hanya melantur, Luna..."
"Ayolah, Saras. Aku paham betul kalau kamu sudah bilang 'penampakan'."
"Sudahlah, aku sendiri belum yakin saat ini, Lun. Nanti hanya membuat kamu takut saja. Aku janji, kalau sudah yakin, aku akan beritahu kamu, okay?!"
Muka Luna tampak khawatir. Tapi dia juga ragu-ragu untuk mendesakku lebih dalam.
"Ah... kok jadi tegang begini. Kamu sudah makan? Yuk, aku traktir kamu makan siang. Hitung-hitung upah angkut barang-barangku minggu lalu", ide Luna kali ini benar-benar mencairkan suasana.
"Hahahahaha. Dari tadi tawaranmu ini yang sebenarnya kutunggu-tunggu. Ayo, deh...!", langsung kusambut ajakannya. Ditraktir adalah kesempatan yang tidak akan pernah Saras sia-siakan. Hehehe.
* * *
Kami berdua makan siang di suatu restoran Chinese di daerah kampus. Setelah kenyang dengan mie ayam favorite, kami kembali ke kost Luna.
Untuk melupakan cerita tegang sebelumnya dan menghapus kekhawatiran Luna, kali ini aku memilih topik yang agak ringan. Apalagi kalau bukan gosip?
"Luna, ada yang ganteng tidak di kostmu?", candaku memulai obrolan sambil melepas lelah dengan meluruskan kaki. Aku tahu Luna paling tidak peduli dengan urusan cowok. Tapi pastinya dia bisa membedakan mana yang ganteng dan tidak. Hehehe.
"Ah Saras, baru seminggu di sini, mana tahu sih ada yang ganteng atau tidak", jawab Luna seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Lunaaa... Luna, dari dulu kamu memang tidak berubah. Paling tidak tertarik sama mahluk bernama "cowok".
"Eh, tapiii... mungkin ada satu yang lumayan...", tanpa kuduga tiba-tiba Luna mengoreksi ucapan sebelumnya. Wah, siapa laki-laki yang dimaksud?
"Siapa namanya, kamu sudah kenal?", tanyaku antusias.
"Sudah, dong. Dia adik kelas kita. Umurnya 2 tahun lebih muda. Orang Medan, namanya... Ucok."
"Ucok? Yang mana sih? Aku sudah pernah lihat?"
"Ingat waktu pertama kali kita kemari? Kan ada salah satu penghuni yang sedang asyik di kamarnya main komputer? Yang disapa oleh Pak Nur itu, lhooo..."
Aku berusaha untuk mengingat-ingat. Oalaaa... ternyata itu yang namanya Ucok?!
"Ohhh, yang itu. Hah? Serius kamu? Yang itu kamu bilang ganteng?"
"Errr... iya...", kali ini Luna memasang tampang kecut. Sepertinya dia baru menyadari kalau penilaiannya SALAH BESAR di mata Saras.
"HAHAHAHAHAHAHA! Model begitu kamu bilang ganteng? Luna... Luna... kamu ini... benar-benar, deh! Sepertinya aku harus menyediakan waktu khusus untuk mengajarimu cara menilai cowok", aku tertawa terpingkal-pingkal. Bukan apa-apa, yang aku ingat, Ucok yang dimaksud Luna adalah cowok kurus kecil, hitam, dan... yah bisa dibilang... tidak menarik. Lalu kenapa Luna bilang dia ganteng? Hihihihihi.
Luna terlihat salah tingkah. Dia mencoba membela pilihannya. Namun tiba-tiba kami mendengar suara langkah mendekat. Ada yang datang. Langkah itu terhenti tepat di depan pintu kamar Luna. Sesosok bayangan menghalangi sinar lampu sehingga ruangan dibuat gelap setengahnya. Ternyata pemilik bayangan tersebut adalah seorang pemuda yang berbadan cukup tinggi.
"Hi, penghuni baru! Sombong benar tidak keluar kamar seharian?", kata pemuda itu sambil menjulurkan kepalanya ke dalam kamar.
Hei siapa dia? Kok baru kali ini kulihat?
"Hi Ariel, masuk. Maaf, bukannya sombong, aku lagi kedatangan tamu nih. Kenalkan temanku, Saras", Luna berdiri dari duduk dan memperkenalkan kami berdua.
"Saras", kataku sambil menjulurkan tangan.
"Ariel", balasnya sambil menyambut uluran tanganku. "Oh, kalian pasti sedang seru. Aku tidak mau ganggu, ah. Luna, aku cuma mau beritahu kalau minggu depan mungkin akan ada acara barbeque lagi. Kamu mau ikut?"
"Boleh. Kamu ikut juga ya, Saras?", Luna menoleh ke arahku.
Sejenak aku ragu-ragu. "Hmmm... aku belum tahu rencanaku minggu depan. Tapi boleh lah", akhirnya aku mengangguk tanda setuju.
"Okay. Sampai nanti, ya!", Ariel segera pamit dan meninggalkan kami berdua kembali.
Setelah memastikan dia telah benar-benar pergi, aku segera mendekat ke arah Luna. Setengah berbisik, kukatakan, "Luna, yang itu baru boleh dibilang... lumayan lah!"
"Hah? Ariel? Masa sih", sahut Luna setengah tidak percaya.
"Daripada yang kamu sebut tadi. Siapa? Ucok? Hahahaha! Setidaknya yang ini jauh lebih bersih. Hihihihi!"
"Ah kamu ini, kalau soal cowok, tahuuuu saja!"
"Siapa dulu dong... SARAS... Jadi, sering-seringlah kamu ngobrol dengan dia, okay?!"
"Hahahaha, aku mana berani membuka pembicaraan lebih dulu?"
"Ah, nanti pasti ada kesempatan. Hihihihi", ujarku sembari melirik jam tangan. Wah, sudah jam 5.30 sore. Aku lihat ke luar, langit sudah mulai gelap. Huff, tanpa terasa obrolan telah memakan waktu setengah harian. Memang kalau sudah gossip dengan Luna bisa lupa waktu.
"Luna, sudah mau Maghrib nih. Aku pulang dulu, ya."
"Kamu tidak mau bermalam saja di sini?"
"Trims. Walau berantakan, aku masih lebih cinta kamarku sendiri kok. Hehehehe... Ya sudah, aku pamit dulu ya. Tapi aku mau numpang ke belakang dulu nih, mau pipis."
"Okay, kamar mandi ada di samping kanan. Mau kuantar?", tanya Luna menawarkan diri.
"Hahaha, memangnya aku anak kecil yang perlu ditemani? Aku bisa ke sana sendiri kok."
Aku berjalan ke luar menuju toilet. Sialnya, toilet berada persis di samping sumur bekas itu. Siang tadi keberadaan sumur tersebut tidak terlalu mengganggu dan tidak terlihat menyeramkan. Sekarang, dengan penerangan seadanya, sumur itu terlihat... sangat menakutkan.
Ah, sudah, jangan pikir macam-macam. Daripada menahan kencing dan ngompol di jalan, lebih baik segera tuntaskan di sini, lalu pulang.
Aku berjalan melewati sumur tersebut. Tanpa pikir panjang, langsung kumasuki kamar mandi yang pintunya terbuka. Kulepaskan hajat buang air kecil. Setelah selesai, aku buru-buru buka pintu kamar mandi.
Ketika kubuka pintu kamar mandi, mataku tertumpu pada sumur itu lagi. Tapi kali ini, walaupun berusaha sekuat hati untuk mengalihkan pandangan, leherku sepertinya kaku dan mataku tidak bisa kupejamkan. Pandanganku tetap mengarah ke atas sumur itu.
Dan perlahan tapi pasti, dari lubang sumur yang tertutup, aku melihat segumpal asap putih. Asap yang semakin lama semakin jelas membentuk bayangan... bayangan seorang anak perempuan. Matanya menatapku penuh kebencian. Bibirnya menyeringai membentuk senyuman yang mengerikan.
"Tolong aku...", begitu pinta suara bayangan perempuan itu dengan lirih. Aneh, matanya yang menyorot tajam tiba-tiba berubah menjadi memelas. Tangannya menjulur ke arahku. Membuatku mundur selangkah.
"Aaa... aa... Ssii... ssiii... siapa kamu?", dengan terbata-bata aku mencoba membalas ucapannya.
"Aku Shinta... Tolong... sampaikan rasa sakit hatiku...", ujar bayangan itu lagi.
Shinta? Shinta siapa? Dengan berpikir keras aku mencoba mengingat-ingat nama itu. Sepersekian detik sekelebat cerita Luna memenuhi isi otakku. Shinta anak Pak Nano? Bukankah dia sudah meninggal? Lalu yang muncul di hadapanku ini adalah... arwahnya? Dengan sisa-sisa keberanian, aku coba membangun komunikasi dengannya.
"Sa... sakit hati dengan siapa, Shinta?", kali ini walau masih tergagap, aku mencoba bersikap tenang. Bukankah sudah ratusan kali aku mengalami hal ini? Sudah bukan hal yang aneh buatku menemui arwah orang mati. Tapi tetap saja, kalau mereka muncul tiba-tiba dengan muka mengerikan seperti itu, aku bisa kaget juga.
"Doni...", sambil berkata demikian, serta merta bayangan tersebut melayang dari sumur menuju arahku. Gerakannya yang cepat seolah-olah hendak menyerangku.
"Arrrrghhhhh!!!!!!!", dengan spontan aku berteriak dan melindungi wajah dengan kedua tanganku. Gayung yang sejak tadi kupegang untuk membersihkan kakiku pun terjatuh ke lantai kamar mandi. Menimbulkan bunyi gaduh yang memekakkan telinga.
Bayangan tersebut menghilang.
Sebagai gantinya, sekelompok orang berlarian dari dalam kost dan rumah Pak Nano menuju kamar mandi. Pasti teriakan histerisku dan jatuhnya gayung telah membuat mereka kaget. Nampak Luna berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Saras... Saras... ada apa? Kudengar tadi kamu teriak!", Luna mengguncang-guncang bahuku.
"A... a... aku...", dengan perasaan masih shock karena baru saja menyangka akan diserang arwah gentayangan, aku mencoba menjelaskan. Tapi lidahku kelu, tatapan mataku horror. Membuat orang-orang di sekitarku ikut-ikutan menjadi ngeri.
"Nak Saras, tadi kenapa teriak? Apa Nak Saras melihat sesuatu?", ganti Pak Nano yang bertanya, setelah melihat perubahan air mukaku yang sudah mulai tenang.
"Aku... aku... baru saja... bertemu anak Bapak, Shinta", dengan nafas agak tertahan akhirnya kuceritakan kejadian mendebarkan yang baru saja kualami.
"Shinta...?", Pak Nano menatapku dengan pandangan tidak percaya.
Semua orang yang ada di situ pun menatapku dengan tatapan mata kaget bercampur tanda tanya. Mungkin hanya Luna yang bisa mempercayai perkataanku saat ini.
Tapi... aku tidak peduli apakah mereka akan percaya atau tidak.
Yang jelas, sekarang aku mau pulang...
* * *
to be continued...
Sudah hampir seminggu Luna tinggal di kost baru. Terakhir kali aku menyambanginya ketika membantunya pindahan. Untung barang-barang Luna tidak terlalu banyak. Hanya dengan dua kali bolak-balik, semua sudah terangkut.
Sejak itu kami berdua disibukkan oleh pekerjaan sehingga hanya sempat bertemu pada saat kuliah malam. Setiap kutanyakan keadaan kost barunya, dengan semangat Luna menceritakan pengalamannya berkenalan dengan satu per satu anggota penghuni kost. Juga mengenai kebaikan keluarga Pak Nano yang sudah menganggap semua penghuni kost adalah anaknya. Kalau memang demikian, kelihatannya semua berlangsung baik dan normal. Kekhawatiranku sebelumnya benar-benar tidak masuk di akal.
Hmmm... mungkin tidak ada salahnya kalau aku mengunjunginya akhir minggu ini. Hitung-hitung menagih trakir karena sudah ikut keluar keringat membantunya pindahan. Hahahaha!
"Kamu tidak ada acara kan Minggu besok? Aku mau datang ke kostmu, nih."
Dua kalimat tersebut kukirimkan melalui SMS ke nomor Luna.
"Benar kamu mau datang? Aku tidak ada acara. Kutunggu, ya!"
Tidak lama kemudian, kudapatkan balasannya. Asyik, artinya hari Minggu besok akan dihabiskan bersama Luna.
Pada hari Minggu siang yang cerah, aku sampai di depan rumah Pak Nano. Aku disambut oleh sekelompok pemuda yang sama ketika pertama kali aku ke sini. Entah siapa nama mereka, aku lupa berkenalan.
"Permisi, Luna-nya ada?", tanyaku basa-basi.
"Hi, Mbak Saras. Mbak Luna ada tuh di belakang", sambut salah seorang dari mereka. Pemuda yang sama dengan waktu itu. Wah, dia sudah hapal namaku, padahal aku tidak tahu namanya. Daripada salah sebut, lebih baik kujawab dengan anggukan dan senyuman manis saja.
Setelah dipersilahkan masuk, aku langsung melangkahkan kaki ke dalam. Lagi-lagi melalui ruang tamu yang kusam itu. Kali ini tidak terlihat Pak Nano atau pun istrinya.
Sekilas pandang kulirik lukisan yang terpampang di dinding. Namun entah mengapa tatapan ku jadi terpaku... Lukisan itu masih sama... Hanya saja wajah anak perempuan yang ada di dalamnya... menjadi sangat pucat seperti wajah tanpa dialiri darah.
Sumpah, pertama kulihat, tidak seperti itu. Lalu mengapa sekarang lain? Atau hanya perasaanku saja? Bulu kudukku meremang berdiri. Perasaanku tiba-tiba gelisah.
"Mbak Saras", sebuah tepukan dingin menghampiri pundak ku.
"Argh!!", aku melonjak kaget, jantung ini rasanya berhenti berdetak.
"Aduh, maaf... maaf... bukan maksudku membuat Mbak Saras kaget."
Ah ternyata pemuda yang tadi. Kenapa dia mengikutiku ke belakang? Apa urusannya? Aku diam saja tanpa menyembunyikan wajah ketusku karena sudah kesal dikagetkan olehnya. Pemuda itu sepertinya merasa bersalah.
"Eeeengg... anu, Mbak. Sebelumnya kenalkan dulu, namaku Ludi. Aku tadi hanya mau memberitahu Mbak kalau mau ke belakang bisa lewat samping. Soalnya kadang-kadang rumah dikunci, jadi tidak bisa lewat ruang tamu..."
"Oooh...", aku menatapnya dengan perasaan malu karena pastinya pemuda itu, siapa namanya? Ludi?, telah mencuri lihat apa yang telah kulakukan barusan. Menatap nanar pada lukisan dengan pandangan ngeri. Ah, jangan-jangan nanti aku dikira sudah sinting?
"Mari, Mbak, saya antar", tanpa sungkan Ludi mengajakku untuk mengikutinya keluar dari ruangan yang kusam dengan lukisan yang mengerikan.
Walaupun ragu, kupaksakan kepalaku menoleh lagi ke arah lukisan tadi, terutama pada bagian wajah anak perempuan Pak Nano. Wajah anak itu... kembali terlihat seperti pertama kali kulihat. Tidak pucat tanpa darah. Bahkan kali ini aku baru sadar kalau ia ternyata menyunggingkan senyuman yang cukup manis. Ah, aneh sekali...
Dengan perasaan bergidik aku mengayunkan kaki mengikuti langkah Ludi. Lain kali, aku tidak mau masuk ruang tamu ini lagi. Hiiy...
Jalan samping yang dimaksud oleh Ludi adalah jalan setapak menuju kebun dan bangunan kost milik Pak Nano. Ternyata di siang hari areal perkebunan ini terlihat lebih lapang. Banyaknya pohon rindang membuat perkebunan menjadi cukup sejuk. Kulihat ada ayunan kain yang ditambatkan di antara dua pohon rambutan. Juga ada kursi panjang di bawah rimbunnya pohon jambu. Pasti menyenangkan menghabiskan waktu bersama di sini. Malam hari bisa buat api unggun sambil bernyanyi diiringi gitar dan bakar jagung atau ikan. Kira-kira pasti seperti itulah yang sering terjadi di sini, setelah kulihat bekas bakaran api di tengah-tengah kursi dan ayunan tadi.
"Hati-hati, Mbak Saras", tiba-tiba tangan Ludi menunjuk sebuah sumur yang lubangnya telah ditutup oleh papan kayu yang tebal. Sumur tersebut terletak di samping kiri bangunan kost. Di sebelah kanan sumur terdapat 2 buah kamar mandi mungil.
"Oh, apa ini? Sumur bekas?"
"Eh... iya, tapi sudah tidak terpakai", jawab Ludi dengan sedikit gugup.
"Airnya sudah kering ya?", tanyaku asal, hanya mau tahu mengapa sumur itu ditutup.
"Errr... airnya sih masih ada. Ditutup karena takut ada yang jatuh lagi... Lagipula, sekarang sudah ada mesin pompa, tidak perlu capai menimba dari sumur."
"Apa kamu bilang tadi? Jatuh LAGI?", kali ini aku cukup kaget mendengar kata "lagi" dalam kalimatnya sebelumnya.
"Eh... Mbak Luna belum cerita, ya? Ah atau jangan-jangan Mbak Luna belum tahu?”, gumam Ludi tidak jelas.
"Hi Saras!!", teriak Luna yang tiba-tiba muncul di tengah situasi aneh antara aku dan Ludi.
"Ah, itu Mbak Luna. Aku permisi dulu ya, Mbak Saras. Kapan-kapan kita ngobrol lagi", dengan buru-buru Ludi pamit.
Tunggu, aku belum mendapat jawaban atas pertanyaanku tadi. Tapi Ludi sudah balik badan dan melangkah bergegas meninggalkanku dan Luna. Ah, aku merasa seperti baru saja "melepaskan buruan".
Luna mengajakku masuk ke dalam kamarnya. Sekarang kamar itu sudah dipenuhi berbagai perabotan. Luna memang patut diacungi jempol, walaupun banyak barang, kamarnya masih terlihat rapih. Coba bandingkan dengan kamarku. Tak jauh beda dengan kapal pecah. Hahaha!
"Ayo Ras, masuk, duduk dimana pun kamu suka."
Aku masuk dan memilih duduk di atas kasur tanpa ranjang dan menyelonjorkan kaki di lantai.
"Barusan itu yang mengantar kamu namanya Ludi"
"Aku tahu, kok. Dia sudah memperkenalkan diri."
"Oooh... tapi kenapa sepertinya dia buru-buru pergi ketika aku muncul?"
"Hahahaha, mungkin dia takut sama kamu, Luna?"
"Eeeh serius... Ludi itu anaknya baik dan ramah, kami sering ngobrol. Jadi takut padaku bukan alasan yang tepat. Atau mungkin dia takut sama kamu? Kamu kan kadang-kadang galak dan judes, Ras... Hahahaha!"
"Enak saja. Aku hari ini jadi anak manis kok, Lun. Masa baru kenal sudah aku bikin takut? Hihihihi... Tapi... mungkin dia bukan takut denganku, Lun... melainkan takut dengan pertanyaanku!"
"Maksudmu?", Luna menatapku dengan pandangan heran.
Aku ceritakan percakapan singkat mengenai sumur bekas yang telah ditutup yang ada di samping bangunan kost ini. Aku berkesimpulan Ludi langsung meninggalkanku begitu aku tanya soal sumur tersebut. Mungkinkah dia takut atau menghindar dari pertanyaanku yang lebih dalam?
Luna nampak serius mendengar penjelasanku. Tapi mukanya tidak menunjukkan sesuatu yang aneh. Bahkan sepertinya dia punya jawaban atas pertanyaanku.
"Hmmm... kalau itu penyebabnya, pantas saja Ludi buru-buru kabur..."
"Lho, jadi kamu tahu soal sumur itu, Lun?", kali ini gantian aku yang menatapnya heran.
"Yeah... aku pun baru tahu kira-kira dua hari yang lalu, ketika ngobrol dengan anak-anak penghuni kost lainnya di sini..."
"Jadi apa ceritanya?"
"Kata mereka, dulu anak perempuan Pak Nano pernah ditemukan meninggal dalam sumur itu."
Aku tercekat. Anak perempuan Pak Nano? Yang ada di lukisan itu? Belum sempat aku bertanya, Luna kembali meneruskan ceritanya.
"Menurut anak-anak, Shinta, nama anak Pak Nano itu, mati bunuh diri dengan loncat ke dalam sumur..."
Mulutku ternganga...
"Bunuh diri? Karena...?"
"Itulah misteri yang belum terjawab. Sebelum meninggal, Shinta diketahui memiliki hubungan khusus dengan mantan penghuni anak kost sini. Doni, namanya."
"Lalu Shinta bunuh diri karena putus cinta dengan Doni?"
"Tidak jelas. Pak Nano memang menuduh Doni telah membuat Shinta patah hati. Tapi Doni membantahnya, karena walaupun tidak direstui Pak Nano, Doni dan Shinta saling mencintai, tidak pernah ada kata-kata putus cinta dari satu sama lain. Mereka bahagia walau selama ini harus back street. Sayang, Pak Nano tidak mau mendengar penjelasan Doni. Setelah kejadian itu, beliau mengusir Doni dari kost ini."
"Oh, sungguh tragis. Lalu apa sebenarnya alasan Pak Nano tidak merestui hubungan mereka?"
"Masalah klasik, Ras... perbedaan suku dan agama..."
"Hmmm... sekarang baru aku sadar apa arti penampakan dalam lukisan yang baru kulihat..."
"Penampakan? Apa maksudmu, Ras?"
Aku tatap dalam-dalam mata Luna. Ingin rasanya aku bercerita padanya apa yang baru saja kulihat pada lukisan di ruang tamu. Luna memang mengetahui kalau aku memiliki kelebihan dapat berhubungan dengan dunia gaib. Tapi jika dunia tersebut ada di sekitarnya saat ini, apakah nanti tidak malah membuatnya takut?
"Eh... bukan apa-apa... Aku hanya melantur, Luna..."
"Ayolah, Saras. Aku paham betul kalau kamu sudah bilang 'penampakan'."
"Sudahlah, aku sendiri belum yakin saat ini, Lun. Nanti hanya membuat kamu takut saja. Aku janji, kalau sudah yakin, aku akan beritahu kamu, okay?!"
Muka Luna tampak khawatir. Tapi dia juga ragu-ragu untuk mendesakku lebih dalam.
"Ah... kok jadi tegang begini. Kamu sudah makan? Yuk, aku traktir kamu makan siang. Hitung-hitung upah angkut barang-barangku minggu lalu", ide Luna kali ini benar-benar mencairkan suasana.
"Hahahahaha. Dari tadi tawaranmu ini yang sebenarnya kutunggu-tunggu. Ayo, deh...!", langsung kusambut ajakannya. Ditraktir adalah kesempatan yang tidak akan pernah Saras sia-siakan. Hehehe.
Kami berdua makan siang di suatu restoran Chinese di daerah kampus. Setelah kenyang dengan mie ayam favorite, kami kembali ke kost Luna.
Untuk melupakan cerita tegang sebelumnya dan menghapus kekhawatiran Luna, kali ini aku memilih topik yang agak ringan. Apalagi kalau bukan gosip?
"Luna, ada yang ganteng tidak di kostmu?", candaku memulai obrolan sambil melepas lelah dengan meluruskan kaki. Aku tahu Luna paling tidak peduli dengan urusan cowok. Tapi pastinya dia bisa membedakan mana yang ganteng dan tidak. Hehehe.
"Ah Saras, baru seminggu di sini, mana tahu sih ada yang ganteng atau tidak", jawab Luna seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Lunaaa... Luna, dari dulu kamu memang tidak berubah. Paling tidak tertarik sama mahluk bernama "cowok".
"Eh, tapiii... mungkin ada satu yang lumayan...", tanpa kuduga tiba-tiba Luna mengoreksi ucapan sebelumnya. Wah, siapa laki-laki yang dimaksud?
"Siapa namanya, kamu sudah kenal?", tanyaku antusias.
"Sudah, dong. Dia adik kelas kita. Umurnya 2 tahun lebih muda. Orang Medan, namanya... Ucok."
"Ucok? Yang mana sih? Aku sudah pernah lihat?"
"Ingat waktu pertama kali kita kemari? Kan ada salah satu penghuni yang sedang asyik di kamarnya main komputer? Yang disapa oleh Pak Nur itu, lhooo..."
Aku berusaha untuk mengingat-ingat. Oalaaa... ternyata itu yang namanya Ucok?!
"Ohhh, yang itu. Hah? Serius kamu? Yang itu kamu bilang ganteng?"
"Errr... iya...", kali ini Luna memasang tampang kecut. Sepertinya dia baru menyadari kalau penilaiannya SALAH BESAR di mata Saras.
"HAHAHAHAHAHAHA! Model begitu kamu bilang ganteng? Luna... Luna... kamu ini... benar-benar, deh! Sepertinya aku harus menyediakan waktu khusus untuk mengajarimu cara menilai cowok", aku tertawa terpingkal-pingkal. Bukan apa-apa, yang aku ingat, Ucok yang dimaksud Luna adalah cowok kurus kecil, hitam, dan... yah bisa dibilang... tidak menarik. Lalu kenapa Luna bilang dia ganteng? Hihihihihi.
Luna terlihat salah tingkah. Dia mencoba membela pilihannya. Namun tiba-tiba kami mendengar suara langkah mendekat. Ada yang datang. Langkah itu terhenti tepat di depan pintu kamar Luna. Sesosok bayangan menghalangi sinar lampu sehingga ruangan dibuat gelap setengahnya. Ternyata pemilik bayangan tersebut adalah seorang pemuda yang berbadan cukup tinggi.
"Hi, penghuni baru! Sombong benar tidak keluar kamar seharian?", kata pemuda itu sambil menjulurkan kepalanya ke dalam kamar.
Hei siapa dia? Kok baru kali ini kulihat?
"Hi Ariel, masuk. Maaf, bukannya sombong, aku lagi kedatangan tamu nih. Kenalkan temanku, Saras", Luna berdiri dari duduk dan memperkenalkan kami berdua.
"Saras", kataku sambil menjulurkan tangan.
"Ariel", balasnya sambil menyambut uluran tanganku. "Oh, kalian pasti sedang seru. Aku tidak mau ganggu, ah. Luna, aku cuma mau beritahu kalau minggu depan mungkin akan ada acara barbeque lagi. Kamu mau ikut?"
"Boleh. Kamu ikut juga ya, Saras?", Luna menoleh ke arahku.
Sejenak aku ragu-ragu. "Hmmm... aku belum tahu rencanaku minggu depan. Tapi boleh lah", akhirnya aku mengangguk tanda setuju.
"Okay. Sampai nanti, ya!", Ariel segera pamit dan meninggalkan kami berdua kembali.
Setelah memastikan dia telah benar-benar pergi, aku segera mendekat ke arah Luna. Setengah berbisik, kukatakan, "Luna, yang itu baru boleh dibilang... lumayan lah!"
"Hah? Ariel? Masa sih", sahut Luna setengah tidak percaya.
"Daripada yang kamu sebut tadi. Siapa? Ucok? Hahahaha! Setidaknya yang ini jauh lebih bersih. Hihihihi!"
"Ah kamu ini, kalau soal cowok, tahuuuu saja!"
"Siapa dulu dong... SARAS... Jadi, sering-seringlah kamu ngobrol dengan dia, okay?!"
"Hahahaha, aku mana berani membuka pembicaraan lebih dulu?"
"Ah, nanti pasti ada kesempatan. Hihihihi", ujarku sembari melirik jam tangan. Wah, sudah jam 5.30 sore. Aku lihat ke luar, langit sudah mulai gelap. Huff, tanpa terasa obrolan telah memakan waktu setengah harian. Memang kalau sudah gossip dengan Luna bisa lupa waktu.
"Luna, sudah mau Maghrib nih. Aku pulang dulu, ya."
"Kamu tidak mau bermalam saja di sini?"
"Trims. Walau berantakan, aku masih lebih cinta kamarku sendiri kok. Hehehehe... Ya sudah, aku pamit dulu ya. Tapi aku mau numpang ke belakang dulu nih, mau pipis."
"Okay, kamar mandi ada di samping kanan. Mau kuantar?", tanya Luna menawarkan diri.
"Hahaha, memangnya aku anak kecil yang perlu ditemani? Aku bisa ke sana sendiri kok."
Aku berjalan ke luar menuju toilet. Sialnya, toilet berada persis di samping sumur bekas itu. Siang tadi keberadaan sumur tersebut tidak terlalu mengganggu dan tidak terlihat menyeramkan. Sekarang, dengan penerangan seadanya, sumur itu terlihat... sangat menakutkan.
Ah, sudah, jangan pikir macam-macam. Daripada menahan kencing dan ngompol di jalan, lebih baik segera tuntaskan di sini, lalu pulang.
Aku berjalan melewati sumur tersebut. Tanpa pikir panjang, langsung kumasuki kamar mandi yang pintunya terbuka. Kulepaskan hajat buang air kecil. Setelah selesai, aku buru-buru buka pintu kamar mandi.
Ketika kubuka pintu kamar mandi, mataku tertumpu pada sumur itu lagi. Tapi kali ini, walaupun berusaha sekuat hati untuk mengalihkan pandangan, leherku sepertinya kaku dan mataku tidak bisa kupejamkan. Pandanganku tetap mengarah ke atas sumur itu.
Dan perlahan tapi pasti, dari lubang sumur yang tertutup, aku melihat segumpal asap putih. Asap yang semakin lama semakin jelas membentuk bayangan... bayangan seorang anak perempuan. Matanya menatapku penuh kebencian. Bibirnya menyeringai membentuk senyuman yang mengerikan.
"Tolong aku...", begitu pinta suara bayangan perempuan itu dengan lirih. Aneh, matanya yang menyorot tajam tiba-tiba berubah menjadi memelas. Tangannya menjulur ke arahku. Membuatku mundur selangkah.
"Aaa... aa... Ssii... ssiii... siapa kamu?", dengan terbata-bata aku mencoba membalas ucapannya.
"Aku Shinta... Tolong... sampaikan rasa sakit hatiku...", ujar bayangan itu lagi.
Shinta? Shinta siapa? Dengan berpikir keras aku mencoba mengingat-ingat nama itu. Sepersekian detik sekelebat cerita Luna memenuhi isi otakku. Shinta anak Pak Nano? Bukankah dia sudah meninggal? Lalu yang muncul di hadapanku ini adalah... arwahnya? Dengan sisa-sisa keberanian, aku coba membangun komunikasi dengannya.
"Sa... sakit hati dengan siapa, Shinta?", kali ini walau masih tergagap, aku mencoba bersikap tenang. Bukankah sudah ratusan kali aku mengalami hal ini? Sudah bukan hal yang aneh buatku menemui arwah orang mati. Tapi tetap saja, kalau mereka muncul tiba-tiba dengan muka mengerikan seperti itu, aku bisa kaget juga.
"Doni...", sambil berkata demikian, serta merta bayangan tersebut melayang dari sumur menuju arahku. Gerakannya yang cepat seolah-olah hendak menyerangku.
"Arrrrghhhhh!!!!!!!", dengan spontan aku berteriak dan melindungi wajah dengan kedua tanganku. Gayung yang sejak tadi kupegang untuk membersihkan kakiku pun terjatuh ke lantai kamar mandi. Menimbulkan bunyi gaduh yang memekakkan telinga.
Bayangan tersebut menghilang.
Sebagai gantinya, sekelompok orang berlarian dari dalam kost dan rumah Pak Nano menuju kamar mandi. Pasti teriakan histerisku dan jatuhnya gayung telah membuat mereka kaget. Nampak Luna berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Saras... Saras... ada apa? Kudengar tadi kamu teriak!", Luna mengguncang-guncang bahuku.
"A... a... aku...", dengan perasaan masih shock karena baru saja menyangka akan diserang arwah gentayangan, aku mencoba menjelaskan. Tapi lidahku kelu, tatapan mataku horror. Membuat orang-orang di sekitarku ikut-ikutan menjadi ngeri.
"Nak Saras, tadi kenapa teriak? Apa Nak Saras melihat sesuatu?", ganti Pak Nano yang bertanya, setelah melihat perubahan air mukaku yang sudah mulai tenang.
"Aku... aku... baru saja... bertemu anak Bapak, Shinta", dengan nafas agak tertahan akhirnya kuceritakan kejadian mendebarkan yang baru saja kualami.
"Shinta...?", Pak Nano menatapku dengan pandangan tidak percaya.
Semua orang yang ada di situ pun menatapku dengan tatapan mata kaget bercampur tanda tanya. Mungkin hanya Luna yang bisa mempercayai perkataanku saat ini.
Tapi... aku tidak peduli apakah mereka akan percaya atau tidak.
Yang jelas, sekarang aku mau pulang...
to be continued...
21 comments:
hiks sus, kenapa lu mencampuradukkan kenangan kita dulu dengan cerita hantu. gue jadi serem sendiri nih :(
btw kyknya dulu kita blm ada hp deh hahaha jd kok bisa sms-an?
@lim:
arrgh, lu mengacaukan cerita gw ajeee.. huaaa... huaaa....
ini Saras dan Luna TAHUN 2007, ibu Limmy mommy dhika... bukan 10 or 11 taon yg lalu ya.
jadi uda canggih, ada hp. dilarang protes lagi soal teknologi.
btw, uda merasa serem belum dg cerita gw? soalnya gw mo membangun suasana seram melalui kata2. itu yg paling susah... sampe gw edit berapa puluh kali tuh... :(
mwkakaakak *ngakak baca comment limmy* btw sus... ni cerita pas lo bilang dr sumur keluar hantu gue jd keinget film the ring yg sukses bikin gue takut tidur sendiri selama berhari2 -____-
Waahhh... baru juga maen ke sini udah merinding... untung 'gak ditambah aroma menyan :D
'lam kenal balik nih, sambungannya segera dipublish ya :)
@epi: hihihihi, kesian juga sih si Limmy, pi. waktu itu pernah gw janjiin cerita mengenai persahabatan dan romansa2 percintaan yg berlatarbelakang masa2 kuliah dulu. eeeeeh... jadinya cerita hantu. hoahahahaha!
ugh, waktu nonton the ring, tangan gw kagak lepas dari nutupin muka. tapi abis itu bisa tidur kok. wong gw kagak liat setannya. abis ketutupan siy. kekekeke.
@sinceyen: haaiii... thx uda mampir sini. sori klo blom ape2 uda disambut ama arwah gentayangan. huehehehe. boleh link blog lu tak?
mungkin jeung susi niatnya kirim kabar pake burung merpati, cuman kelamaan nyampenya.. LOL...
btw.. Ludi itu.. jelmaannya hubby c Limmy bukan?
Limmy... Luna.... Adi... Ludi.. hehehe :D *asal nebak aja*
@Elita: eiiiiiiiitzzzzz.... rahasiaaa dooonkkk...
sapa yaa... sapa yaaa... hihihihi...
alloo..met kenal ya..ceritanya disambung dung.......... hoho plg suka cerita horor niy...
arrrrrrrghhhhhhh... ceritana diputus pas lagi seru² na.....
Huhuhu...jangan² continuatena abis lebaran yak = ='...liburan dipenuhi rasa penasaran de ...
- ini si tata nagih², tapi Pr masi belum mulu hahaha....
Sabar jeng ^^ -
@didia: hi didia, met kenal juga. wah, sesama pecinta cerita horor nih. klo gitu, tunggu aja edisi berikutnya yaaa ;)
@tata: HOAHAHAHA.. tau gak siy, gw tuh baru mampir blog lu. trus pas liat lu belum kerjain PR, komentar gw dalem ati: bandel nih anak 1, PR kagak dikerja2in.
ternyata lu uda ngerasa sendiri. hihihihihi...
jadi.. HAYO KERJAIN *bawa cambuk*
klo gak kerjain, nti sambungan saras gw password lho. dan passwordnya hanya gw berikan bagi yg uda buat PR >:)
Huaa..sadizzzz...iya bu gulu..malem ini ane ngelembur lanjut lagi...
demi demi....demi saras hauauhauua....
* eh baru nyadar..blogspot kan tak bisa pass huehuehue..viva WP ^^ *
@tata: sapah bilang edisi saras berikutnya ada di blogspot?
hi hi hi >:)
@ta: bisa kok... hehee.. kata sapa ga bisa?
nih...
http://veenix.blogspot.com/2006/07/encrypted-blog-posts.html
:D :D :D
sus, tau ngga sih lu, gue sampe ngebayangin emang dimana sih kos si limi waktu itu?
perasaan gue jg seangkatan lu dan limi, tp pas gue kost, kost gue gak ada serem2nya acan sampe ada sumur tua dan tanah lapang gitu wakakaka, jadi penasaran dimana ya tempat itu...
eh beneran sus, untunggg gue uda gak ngkost, kalo masi kos, gue gak akan mau baca crita lu yg ini dah..
lanjutttt tarik maangggg...
@elita:
hah, beneran bisa, lit?
ASIIIkkk... cobain ah..
@nat:
tempat kost limmy itu... tserah limmy deh mo kasih tau dimana... nti dijadiin TKP lagi, wakakaka...
ayo, lim. ceritain dg jelas deskripsi kost lu. trus nti gw compare.
tempatnya emang ada kebon. tapi rasanya kagak ada sumur deh, nat. atau ada? pastinya gak nyeremin gitu, soale gak sampe gw inget2.
ruangan tamunya juga biasa aja siy benernya. cuma kurang lampu ajah.
wakakaka... klo dipikir2, di tiap kostan emang rada2 spooky jadinya yak. trus gimana nasib yg masih pada ngekost nih, nat? bisa2 pada ketakutan juga. huahahaha!
@elita lagi:
barusan liat link blog yg lu kasih, lit. rada ribet nempelnya.
lagian nti klo dipassword, gw keilangan fans2 lagee... *GUBRAKs... wakakaka*
tapi sekali2 nti mo coba ah. lu dulan donk, lit :p
dooh ini gara2 susy sih. bikin cerita misteri pake background kos gue. jadinya pada serem kan ngebayangin kos gue. pdhl kos gue dulu itu ga ada serem2nnya bo. ga ada itu sumur. itu susy terinspirasi dari the ring kali. hehe
yg jelas kebon di samping kos itu sangat menyejukkan udara kos, baik itu siang atau malam.ga ada serem2nya ah. lagian anak kos kan sering begadang main gitar sampe subuh di situ.
huahaha.. blom ada yang perlu dipasswud nih g.. makanya ga pake, ntar kapan2 deh, klo dah mo rahasia2an lagi...
itu link juga g dapet dari browsing, sejak para penghuni wordpress demen maen passwud.. :D
@limmy:
hihihi, iya deeeh... nti abis part 3 gw klarifikasi kost lu gimana sebenernya. kagak serem kok, malah tempatnya sejuk, cocok buat... pacaran yak? huahahaha. *kaboerrrr*
soal sumur itu, gw gak terinspirasi dari the ring. muncul aja sendiri dari pala gw. nti gw ceritain deh gimana bisa nongol tuh sumur. kekeke.
@elita: tapi mayan tuh klo kita mo pake password, bisa nyontek caranya. tapi tunggu lu dulu ah yg praktek, nti kasih tau gw, yak. huehehe.
...jadi di dasar sumur itu ada.. ada.. iiiiihhh... serammmmm *tutup muka juga*
@si om: Ci lukkk.. baaaa... ada dirimuuu... hihihihihi
Post a Comment